Ryaas Rasyid: UU No 23/2014 Membelokkan Arah Otonomi Daerah dari Pakem Reformasi 1999

Ryaas RasyidKETIGA, penarikan kewenangan tanpa alasan-alasan obyektif dari kabupaten/kota adalah suatu kebijakan yang menciderai prinsip otonomi daerah buah reformasi 1998. Prinsip itu adalah saling mempercayai dalam hubungan pusat-daerah. Penarikan kewenangan dari kabupaten/kota tanpa alasan yang jelas dari  pusat (melalui UU)  adalah simbol ketidak-percayaan pusat terhadap daerah. Perlu disegarkan kembali ingatan kita bahwa konsensus tentang otonomi daerah tahun 1998 yang kemudian tertuang ke dalam UU No.22 tahun 1999 adalah meletakkan titik berat otonomi pada kabupaten/kota. Prinsip otonomi seluas luasnya diwujudkan melalui pemberian “otonomi penuh” kepada kabupaten/kota.

Itulah sebabnya maka ketika UU tersebut dilaksanakan pada tahun 2001, semua instansi pusat di kabupaten/kota, kecuali instansi yang mengelola 5 bidang pemerintahan sebagai  kewenangan mutlak pemerintah pusat, dilikuidasi. Artinya, pemerintah kabupaten/kota memiliki kewenangan melaksanakan pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat di berbagai bidang, kecuali bidang-bidang yang menurut UUD dan UU menjadi domain kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah propinsi. Spirit ini tidak lagi dipelihara oleh pembuat UU no 23 tahun 2014. Dengan UU ini kewenangan pemerintah kabupaten/kota semakin menyempit, sehingga otomatis daya prakarsa dan kreativitas mereka akan menurun.

Pertanyaan yang kemudian menggelitik akal-pikiran kita, kemana arah perjalanan otonomi ini akan menuju? Bagaimana penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan publik bisa maksimal terwujud kalau di internal pemerintah sendiri terjadi tarik-ulur kewenangan yang tiada henti-hentinya?

KE-EMPAT, pemberlakuan UU No.23 tahun 2014 itu secara serta-merta telah menciptakan ketidak-pastian di beberapa bidang layanan publik yang kewenangannya ditarik dari kabupaten/kota. Tiba-tiba saja seluruh proses perijinan di sektor pertambangan, kehutanan, dan kelautan yang selama ini dikelola pemerintah kabupaten/kota harus dihentikan. Tiba-tiba saja pembinaan terhadap sekolah-sekolah SMU dan SMK bersama para gurunya serta pengawasan atas tenaga kerja terlepas dari pemerintah kabupaten/ kota.

Saya menerima banyak masukan betapa sejumlah propinsi kewalahan memikirkan bagaimana mengelola tambahan personil yang jumlahnya ribuan dari dinas-dinas yang dihapuskan di seluruh kabupaten/kota dalam propinsi itu. Bagaimana menyediakan ruang kantor untuk menampung mereka yang harus masuk ke dinas propinsi lengkap dengan pemindahan seluruh arsip dan dokumen-dokumen yang ada. Bagaimana menyediakan anggaran untuk tunjangan mereka yang selama ini ditanggung oleh APBD kabupaten/kota, bagaimana melanjutkan progran sekolah SMU dan SMK gratis yang selama ini menjadi beban APBD kabupaten/kota, bagaimana melayani permohonan ijin usaha, pembinaan, dan pengawasan atas seluruh operasi bidang pertambangan, kelautan, kehutanan di seluruh wilayah propinsi.

Di kabupaten/kota sendiri terjadi kebingungan tentang apa yang harus mereka lakukan dalam fase transisi. Sampai saat ini, menjelang 2 tahun berlakunya UU No.23 tahun 2014 belum lahir satu pun Peraturan Pemerintah yang dapat menjadi acuan pelaksanaannya. Terjadi kevakuman dan stagnansi yang panjang. Implementasi ke depan pun belum terjamin akan berlangsung mulus. Akan ada kelelahan dan komplain masyarakat yang selama ini cukup berurusan dengan pemerintah kabupaten/kota  di bidang-bidang layanan yang ditarik itu, karena harus melalui jalan panjang ke propinsi. Spirit otonomi yang diletakkan di kabupaten kota untuk mendekatkan pelayanan kepada masyarakat yang membutuhkan, sudah dengan sendirinya hilang.

Bertolak dari deskripsi dan argumen yang saya sajikan secara singkat di atas, saya sampai kepada kesimpulan sederhana bahwa UU No.23 tahun 2014 sepanjang menyangkut penarikan kewenangan dari kabupaten/kota adalah sebuah langkah yang keliru. UU ini tidak menyelesaikan masalah yang selama ini mungkin ada di daerah, tetapi justru menciptakan masalah baru. Uraian saya yang sepenuhnya berangkat dari sudut pandang pemerintahan tentu tidak bisa membuktikan adanya pertentangan atau pelanggaran terhadap “Written Constitution” sebagaimana yang nanti akan disampaikan oleh ahli yang memang berlatar belakang ilmu hukum. Tapi kalau kita sepakat bahwa konstitusi tidak terbatas pada apa yang tertulis, dan pemaknaan atasnya dapat dilihat dari spektrum yang lebih luas, yang bergerak “beyond the written constitution,” maka sisi negatif yang saya lihat melekat pada proses kelahiran dan substansi UU ini, kiranya jelas telah membawa beban yang berat dalam upaya membangun pemerintahan yang baik.

Demikian pandangan saya, semoga dapat memberi inspirasi kepada para Hakim Mahkamah yang mulia ini tentang potensi terganggunya proses pengelolaan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan masyarakat di daerah jika pasal-pasal tentang penarikan kewenangan dari Kabupaten/Kota tidak dibatalkan oleh Mahkamah. Saya memohon maaf jika dalam penyampaian saya tadi terjadi kesalahan atau menimbulkan rasa tidak enak di hati para Hakim yang mulia. Terima kasih.

Wassalamu’alaikum warahmatulahi wa barakatuh.

Jakarta 14 April 2016

[Professor M. Ryaas Rasyid, MA. PhD, Keterangan Ahli dihadapan Sidang MK 14/04/2016]