Apkasi.org. Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) merasa yakin bahwa majelis hakim Mahkamah Konstitusi, akan mengabulkan permohonan gugatan uji materi Undang-Undang No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah oleh sejumlah bupati, mewakili seluruh bupati yang tergabung dalam wadah organisasi Apkasi.
“Keyakinin akan dikabulkannya permohonan kami tersebut, setelah saya mengikuti sidang keempat pada hari ini yang mendengarkan saksi Ahli dari pihak kami selaku pemohon yaitu, Prof. Ryaas Rasyid dan Dr. Indra Prawira. Pemaparan beliau-beliau tersebut, saya kira sangat jelas dan tidak dapat dibantah kebenarannya,” tegas Ketua Umum Apkasi, Mardani H Maming seusai mengikuti jalannya sidang MK (Kamis, 14/4).
Menurut Mardani yang juga Bupati Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan ini, ia sangat setuju dengan apa yang dipaparkan oleh kedua saksi ahli yang dihadirkan pihaknya. Undang-Undang 23 Tahun 2014 ini, tegasnya, sangat bertentangan UUD 1945 dan mencederai semangat reformasi untuk menerapkan sistem pemerintahan desentralisasi atau otonomi seluasnya bagi daerah kabupaten.
“Dengan lahirnya Undang-Undang 23 tahun 2014 yang sangat bernuansa sentralistik dengan menarik-narik kembali kewenangan di daerah kabupaten/kota, merupakan kemunduran jauh bagi langkah kehidupan demokrasi berbangsa dan bernegara di bumi pertiwi ini,” ujar Mardani seraya menyatakan bahwa rakyatlah yang sangat dirugikan dengan hadirnya UU ini.
UU 23/2014 Merenggut Otonomi Daerah
Sementara itu, saksi ahli yang dihadirkan pihak pemohon, yaitu pakar otonomi daerah, Prof. Ryaas Rasyid dengan tegas meminta Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan judicial review UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang diajukan Apkasi. Sebab UU itu dinilai telah merenggut otonomi daerah serta mengingkari cita-cita reformasi.
“Dengan hadirnya UU tersebut, otonomi daerah seluas-luasnya yang telah ditetapkan sejak era reformasi, kini justru kembali diatur oleh Pusat. Akibatnya, pemerintah daerah tidak dapat bergerak mengembangkan pembangunan wilayahnya. Meraka jadi mati rasa dan ide, karena adanya pembatasan kewenangan dalam pengelolaan anggaran belanja daerah. Penerapan Undang-undang tersebut, membatasi pemerintah daerah saat ini,” kata Ryaas saat memaparkan pendapatnya sebagai saksi ahli di hadapam Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi.
Dampak selanjutnya, kata tokoh yang membidani lahirnya otonomi daerah di tanah air ini, beragam permasalahan yang dikeluhkan oleh masyarakat tidak dapat diselesaikan secara mandiri. Padahal, maksud dari otonomi daerah yang diusulkannya pada zaman reformasi dulu, adalah meratakan pembangunan dan membentuk kemandirian daerah.
“Perubahan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 merupakan perubahan dari Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, yang sebelumnya daerah dapat mengambil keputusan langsung, kini diklasifikasi masuk sebagai urusan pemerintahan pusat,” tambah Ryaas.
Tetapi, tambahnya, kini permasalahan terjadi dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah, karena anggaran hingga perizinan dibatasi oleh pemerintah pusat. Padahal hakikat otonomi itu, menjadikan masyarakat yang sadar demokrasi sehingga menciptakan civil society. Tapi kenapa sekarang justru membatasi daerah untuk mengembangkan diri,” tanyanya sambil menghela nafas.
UU 23 Tahun 2014 bak Menghidupkan Zombi
Dalam kesempatan berbeda, saksi Ahli lain yang dihadrikan Apkasi selaku pemohon, yaitu Dr. Indra Perwira, pakar Hukum Tata Negara dari Universitas Padjajaran. Menurutnya, Kehadiran UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah sangat tidak logis dan merupakan kemunduran bangsa ini dalam kehidupan berdemokrasi.
“Kehadiran UU tentang Pemerintahan Daerah ini sangat tidak logis. Ibaratnya menghidupkan kembali sosok Zombi yang menyeramkan. Bagaimana tidak? Setelah kita meninggalkan UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pemerintahan Daerah yang bernuansa sentralistik, dengan menerbitkan UU 22 tahun 1999 dan UU 32 Tahun 2004 yang bernuansa Otonomi daerah, kemudian kita kembali lagi ke UU no 5/1974 yzng telah kita kubur lama tersebut,” ujar Indra sambil menggelengkan kepala seolah tidak percaya dengan kondisi yang ada.
Dengan mengajukan berbagai argumen tentang keburukan UU 23 tahun 2014 jika dipaksakan untuk diimplementasikan, Pakar Hukum Tata Negara ini, memohon agar majelis hakim dapat kiranya mengabulkan permohonan uji materi UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah oleh Apkasi tersebut.
Masyarakat dan Bupati Mulai Banyak Yang Berteriak
Meski efektif pemberlakuan atau penerapan UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini masih beberapa bulan lagi, yaitu Oktober 2016, namun tak sedikit rakyat, aparat pemerintah di daerah, bahkan beberapa bupati sudah mulai berteriak lantaran sangat merugikan masyarakat secara umum di daerah.
“Salah satu contoh pengusaha galian pasir di kabupaten saya, ia berteriak karena merasa dipimpong saat mengurus perizinan. Lantaran UU itu, izin tersebut di kabupaten tdk bisa diberikan harus ke propinsi. Sementara dinas di propinsi, belum siap dan melempar pengusaha kecil tersebut ke kabupaten lagi. Khan kasihan pengusaha kecil yang modal dan keuntungannya tak seberapa dipimpong seperti itu,” ujar Bupati Karang Anyar Juliatmono.
Hal serupa, juga terjadi di Kabupaten Tangerang. Namun, akibat negatif UU 23 tahun 2014 ini terjadi di sektor pendidikan. Lantaran UU tersebut mengamanatkan bahwa sektor pendidikan untuk Sekolah Menengah Umum dan sederajat, kini diambil alih ke tingkat Propinsi, maka dampak sekolah gratis dan berbagai fasilitas gratis yang selama ini telah diberikan Pemkab, otomatis tidak ada lagi.
“Nah, akibat penerapan UU 23 tahun 2014 itulah yang membuat semua fasilitas gratis yanng bersumber dari APBD Pemkab, tidak dapat diberikan lagi. Akibatnya lagi, beberapa orang tua murid banyak yang protes dan mengeluh kepada pemkab,” terang Ahmad Zaki, Bupati Tangerang sembari menambahkan bahwa akibat aturan baru itu, juga membuat guru resah karena harus kehilangan tunjangan yang selama ini diberikan pemkab.
Untuk lebih mendorong agar majelis hakim MK dapat mengabulkan permohonan uji materi UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah ini, Apkasi pada sidang berikutnya yang diagendankan akan berlangsung pada Kamis, 28 April 2016, akan menghadirkan kembali dua saksi ahli dan beberapa saksi fakta yang berasal dari kalangan masyarakat yang merasakan langsung dampak negatif implementasi UU tersebut. Sampai bertemu di sidang berikutnya! (emzet).