Ryaas Rasyid: UU No 23/2014 Membelokkan Arah Otonomi Daerah dari Pakem Reformasi 1999

Dalam sidang Mahkamah Konstritusi atas pengajuan judicial review atas UU No.23 Tahun 2014 memasuki agenda mendengarkan Keterangan Ahli. Salah satu keterangan dalam sidang yang berlangsung pada Kamis, 14 April 2016, salah satunya adalah Professor M. Ryaas Rasyid, MA. PhD. Berikut penjelasan lengkapnya.

Penarikan Kewenangan dari Kabupaten/Kota Versi UU No 23 Tahun 2014, Membelokkan Arah Otonomi Daerah dari Pakem Reformasi 1999

Yang Mulia Para Hakim Mahkamah Konstitusi dan hadirin yang terhormat

Assalamu’alaikum warahmatullahi wa barakatuh,

Ryaas RasyidIjinkan saya mengucapkan terima kasih yang tulus atas kehormatan yang diberikan kepada saya untuk menyampaikan pendapat di forum yang mulia ini, sehubungan dengan gugatan yang disampaikan oleh Asosiasi  Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia atas pasal-pasal yang terkandung dalam materi UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Saya mengikuti “dari jauh” perkembangan proses pembahasan RUU di DPR sampai saat disahkannya RUU menjadi UU yang kemudian diberi nomor 23 Tahun 2014. Saya mengatakan dari jauh, karena walaupun pada masa proses itu berlangsung, posisi saya sebagai anggota Dewan Pertimbangan Presiden bidang Pemerintahan dan Reformasi Birokrasi, seyogianya diperintahkan oleh Presiden atau setidaknya diminta oleh Menteri Dalam Negeri agar ikut terlibat dalam perumusan RUU atau sekurang-kurangnya ikut serta dalam proses pembahasan di komisi II DPR-RI sebagai bagian dari tim pemerintah, namun  dalam kenyataan hal itu tidak terjadi.

Sebagai mantan Direktur Jenderal Pemerintahan Umum dan Otonomi Daerah, Departemen Dalam Negeri (1998-1999), Ketua Tim Reformasi Politik dan Pemerintahan yang antara lain melahirkan UU No.22 Tahun 1999 (1998-2000) yang menjadi dasar dimulainya era otonomi daerah hasil reformasi, menteri otonomi daerah yang pertama dan terakhir (1999-2000),  mantan anggota komisi II  DPR-RI (2004-2009), dan anggota Wantimpres bidang pemerintahan dan reformasi birokrasi (2010-2014), saya sama sekali tidak diajak memperkuat tim pemerintah dalam proses perumusan dan pembahasan RUU Pemda, pengganti UU No.32 tahun 2004.

Para Hakim Mahkamah Konstitusi yang Mulia,

Saya merasa perlu terlebih dulu menyampaikan hal posisi saya selama proses perumusan RUU dan pembahasannya di DPR sebagai titik awal dari pandangan yang akan saya sampaikan di hadapan sidang mahkamah yang mulia ini. Saya menilai bahwa substansi materi yang termuat dalam UU No.23 tahun 2014 yang berkenaan dengan penarikan kewenangan dari Kabupaten/Kota ke Propinsi mengandung setidaknya 4 kekeliruan yang fatal, yaitu (1) berangkat dari asumsi yang salah tentang kekuasaan pemerintah pusat, (2) melanggar etika pemerintahan, (3) menciderai semangat otonomi daerah, dan (4) menciptakan ketidak pastian dalam pelayanan publik di tingkat kabupaten/kota.

4 kekeliruan itu antara lain: PERTAMA…