Apkasi Kembali Bahas Masalah Kesehatan di Daerah

Workshop Kesehatan yang diselenggarakan Apkasi benar-benar dimanfaatkan para pelaksana kesehatan untuk mencurahkan berbagai problematika kesehatan di daerah. Selain itu, peserta workshop yang moyoritas kepala dinas kesehatan di kabupaten ini juga mendapat pengalaman terkait pengadaan alat-alat kesehatan (alkes) dari LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah).

“Setahu saya, pegawai dinas kesehatan yang paling banyak di penjara dibandingkan dinas atau SKPD lainnya karena pengadaan barang. Harapan saya ini menjadi perhatian Kementerian Kesehatan dan juga LKPP,” terang Jhonny, perwakilan Dinas Kesehatan Kabupaten Samosir.

“Ada permasalahan dalam pengadaan alkes selama ini. Saya kira tidak melulu kesalahan aparatur kesehatan di daerah. Harusnya Kementerian Kesehatan melihat ini, karena penyelenggara kesehatan di daerah menjadi ujung tombak dalam membangun kesehatan paripurna,” sambung Jhonny.

Hal yang tidak jauh berbeda juga disampaikan perwakilan Dinas Kesehatan Gorontalo Utara, ia meminta ketegasan Kementerian Kesehatan terkait BPJS di daerah. “BPJS meminta kami (dinas kesehatan) melengkapi prasarana, khususnya di puskesmas. Pertanyaan saya, apa bisa BPJS mengatur kami?,” tanyanya.

Problematika penyelenggaraan kesehatan di daerah khususnya masalah Pengadaan Barang dan Jasa (PBJ) memang menjadi perhatian Apkasi. Pernyataan Jhonny terkait banyaknya aparatur kesehatan yang terjerat hukum menjadi salah satu indikasi adanya permasalahan besar di daerah.

“Kesehatan di daerah tentu menghadapi berbagai permasalahan, tidak saja terkait pengadaan barang dan jasa. Kita tahu, puskesmas bisa dituntut masyarakat kalau pelayanannya tidak benar. Untuk itu, semua pihak harus melihat jernih penyelenggaraan kesehatan di daerah. Apkasi saya kira sudah concern dengan masalah ini, tinggal bagaimana agar penyelenggaraan kesehatan di daerah benar-benar mendapat perhatian pusat,” dr. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K), (Bupati Kulongprogo) yang juga menjabat Wakil Ketua Bidang Kesehatan Apkasi.

“Pemerintah dalam hal ini Kementerian Kesehatan harus juga melihat realitas di daerah. Tentu tidak semua daerah bisa disamaratakan. Dan harus kita akui, puskesmas dan RSUD di daerah sangat berbeda dengan rumah sakit swasta. Karena Puskesmas merupakan garda terdepan dalam pelayanan kesehatan, UKM (Upaya Kesehatan Masyarakat) dan UKP (Upaya Kesehatan Perorangan) di daerah. Jadi bebannya lebih besar dari pada rumah sakit swasta, karena harus menjalankan kesehatan secara terpadu dan memberikan pelayanan preventif, promotif, sampai dengan kuratif maupun rehabilitasi,”

AUDITOR HARUS BERSERTIFIKAT
Workshop Apkasi yang diselenggarakan di Sekretariat Apkasi pada Kamis, 17 September 2015 ini tidak saja dihadiri Wakil Ketua Bidang Kesehatan Apkasi, hadir juga perwakilan Kementerian Kesehatan, Kasubdit Pengelolaan Katalog LKPP, praktisi manajemen IPAL dan sekitar 120 jajaran dinas kesehatan pemerintah kabupaten.

Tema yang diangkat dalam seminar ini adalah ‘Pemenuhan Sarana Prasarana dan Peralatan Pelayanan Kesehatan, Sesuai dengan Arahan Permenkes Nomor 84 Tahun 2014 dan Perpres Nomor 4 tahun 2015, tentang Petunjuk Teknis dan Pengadaan Barang dan Jasa’. Sebelum aparatur dinas kesehatan daerah menyampaikan berbagai pertanyaan, terlebih dahulu pemaparan disampaikan dr. Hasto, Wakil Ketua Bidang Kesehatan Apkasi, Subadri yang mewakili Direktorat Bina Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan RI dan Dwi Satrianto (Kasubdit Pengelolaan Katalog LKPP).

Peserta mendapatkan penjabaran bagaimana menyelenggarakan kesehatan yang baik di daerah, termasuk tata cara dan proses pengadaan barang dan jasa yang sesuai aturan. Dwi Satrianto mengungkapkan, LKPP selama ini sudah sangat terbuka bagi pengguna anggaran di daerah, termasuk dalam pengadaan alkes yang banyak bermasalah. “Kalau memang barang tidak ada di katalog LKPP, dinas kesehatan bisa menggunakan alternatif lain yaitu penunjukan langsung atau tender. Ini tidak ada masalah,” jelas Dwi.

Hanya saja Dwi menyarankan, dalam penganggaran sebelumnya, diberikan alternatif dan jangan mengacu pada harga saat itu. “Bisa jadi harganya naik beberapa bulan berikutnya. Nah, untuk jaga-jaga, berikan alternatif barang dengan spesifikasi tidak jauh berbeda. Dan kalau memang tidak ada di katalog, kami menyarankan, pihak daerah membeli dari pabrik langsung atau distributor resmi. Karena saat ini, banyak pemegang SIUP yang tidak mengerti barang yang ia jual,” paparnya.

Sementara dari perwakilan Kementerian Kesehatan lebih menyoroti banyaknya daerah yang membeli barang yang tidak dibutuhkan. Sudabri mencontohkan alat CT Scan yang dibeli salah satu RSUD yang mangkrak hingga saat ini karena tegangan listrik di rumah sakit tidak cukup untuk menghidupkan alat kesehatan moderen ini.

“Ini harus menjadi perhatian teman-teman di daerah. Belilah barang-barang yang benar-benar dibutuhkan. Permasalahan yang timbul saat ini adalah, pengadaan barang tapi tidak bisa digunakan atau operatornya tidak ada,” terang Subadri.

Workshop semakin menarik ketika sesi tanya jawab. Banyak daerah yang mencurahkan berbagai permasalahan penyelenggaraan kesehatan di daerah, termasuk masalah BPJS, IPAL (Instalasi Pengolahan Air Limbah) yang tidak di desain dari awal, pembelian obat melalui katalog yang cepat kadaluarsa, termasuk sarana perumahan untuk tenaga medis.

“Kami sering merugi karena ketika memesan obat melalui katalog, setahun berikutnya sudah kadaluarsa. Belum lagi ketika pesan obat contohnya 20.000 strip, yang datang hanya 2.000. Harapan saya Kementerian Kesehatan dan LKPP harus menindak penyedia-penyedia di katalog yang tidak profesional,” pinta Sahan Saleh, Bupati Belitung yang turut hadir dalam Workshop.

Pihak LKPP pun berjanji akan memperbaiki berbagai persoalan dalam pengadaan, khususnya masalah katalog LKPP. Sedangkan Kementerian Kesehatan yang diwakili Subadri berjanji akan menyampaikan masukan-masukan dari daerah kepada pimpinannya.