BELUM LAMA INI, saat saya belanja di salah satu convenient store dekat rumah, saya bertemu dengan sekelompok anak muda yang sedang memarkirkan motornya, dan selintas mendengar pembicaraan mereka untuk touring ke desa di atas awan di Kabupaten Lebak, Provinsi Banten, yang baru-baru ini popular di jagad maya.
Mendengar itu, saya iseng menanyakan, “Widih keren motornya, pada mau touring kemana nih?”
“Ke Desa Citorek Kidul, Pak. Itu lho yang terkenal dengan sebutan negeri di atas awan,” timpal salah satu rombongan dengan cepatnya.
“Maklum pak, orang kota haus hiburan nih,” imbuh temannya lagi dengan antusias.
Mendapat penjelasan singkat dari para rombongan pemuda yang akan touring ke Desa Citorek Kidul tersebut, saya jadi teringat tulisan Prof. Rhenald Kasali sekitar 3 tahun lalu yang temanya tentang “disruption”. Salah satu tulisan artikel beliau mengulas tentang kecenderungan anak-anak muda sekarang – millennial – yang berbondong-bondong liburan ke desa-desa, dan ini dibarengi dengan kebiasaan tingkah mereka, yaitu berpergian dengan meninggalkan jejak, update status di dunia media sosial.
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa merupakan rujukan formal untuk desa dapat berkreasi menjadi unggulan di sektor pariwisata, serta sektor lainnya. Menurut saya, inilah gayung bersambut fenomena “disruption”nya atas gaya hidup anak-anak kota ini yang ingin ke desa. Maksudnya, peluang pendapatan warga desa di sektor pariwisata sangatlah menjanjikan.
“Kehausan” para anak muda/di kota untuk berlibur di desa telah menjadi trend di masa kini, dan bahkan mungkin sampai di tahun-tahun ke depannya. Paket wisata desa yang disebut “live in” telah menjamur di beberapa desa. Paket ini memfasilitasi wisatawan untuk dapat hidup seperti orang-orang desa. Seperti bangun jam 5 pagi untuk mencari kayu bakar, memberikan pakan ke ternak serta mengangkut air dari lokasi yang jauh dari tempat tinggal. Bahkan sampai melakukan aktifitas di sawah seperti membajak, menanam dan aktifitas lainnya di persawahan. Konsumen-konsumennya bukan hanya kelas menengah, banyak juga dari kelas atas, yaitu dari sekolah-sekolah internasional yang ada di kota-kota besar, dan mereka menggunakan paket wisata “live in” ini bersama keluarganya.
Sungguh pesona desa beserta isinya telah menjadi daya tarik sendiri untuk mereka, yang sebetulnya ini biasa-biasa saja bagi orang-orang desa itu sendiri. Kecenderungan hidup di kota yang serba instant, terburu-buru, dikejar waktu, sesak karena persaingan di kantor, di sekolah, di perjalanan, serta sikap individualistis telah membuat para pemburu ketenangan sambil bersenang-senang ini berpikir untuk kembali ke desa. Selain menghindari itu semua, mereka dapat juga pemandangan alam yang tak kalah menariknya.
Potensi Desa
Semenjak Presiden Jokowi menjabat, salah satu program yang amat didengung-dengungkan serta mendapat pendanaan yang fantastis, yaitu membangun Indonesia dari pinggiran, yang salah satunya melalui program membangun desa-desa. Terhitung dari tahun 2015, ada kenaikan yang signifikan terhadap dana desa ini, dari Rp 20,76 triliun di tahun 2015, menjadi Rp 72 triliun di tahun 2020, dengan total dana desa yang telah digelontorkan mencapai Rp 257 triliun (2015-2020).
Namun demikian, kenaikan yang signifikan ini belum dibarengi dengan terkuaknya potensi desa yang dapat meningkatkan pembangunan desa, yang ujung-ujungnya untuk kesejahteraan warga desa. Ini terbukti bahwa walaupun tingkat pengangguran terbuka di desa lebih rendah daripada di kota, tetapi presentasi kemiskinan di desa nyaris dua kali lipat daripada di kota. Artinya kualitas pekerjaan yang diciptakan di desa masih rendah sehingga tidak memberikan insentif pendapatan yang memadai (A. Erani Y, Kompas, 19 November 2019).
Tak terkecuali Indonesia, Uni Eropa memberikan bantuan US$ 100 miliar (2014-2020) untuk desa-desa di negara-negara yang terjerembab dalam resesi ekonomi, seperti Portugal, Yunani, Itali, dan lainnya. Tujuan dari bantuan ini, tidak lain tidak bukan, untuk membangun perekonomian desa sehingga tercipta lapangan kerja bagi penduduk desa. Apabila penduduk desa mendapatkan pendapatan tambahan melalui program ini, maka akan menekan peralihan penduduk dari desa ke kota, sehingga beban kota-kota yang sudah buruk dari resesi ekonomi tidak bertambah buruk.
Pemerintah Pusat, melalui peraturan Kementerian Desa dan Daerah Tertinggal menekankan bahwa dana desa untuk tahun 2020 serta lima tahun ke depannya menekankan pada Pembangunan (Ekonomi) Desa dan Pemberdayaan Masyarakat (SDM) Desa – PancaCita Jokowi 2019-2024 – yang setidak-tidaknya program serta kegiatannya menargetkan pada: 1) Peningkatan Kualitas Hidup, 2) Peningkatan Kesejahteraan, 3) Penanggulangan Kemiskinan, dan 4) Peningkatan Pelayanan Publik.
Point 2 dan point 3 mendapatkan tempat untuk para pelaku kegiatan ekonomi desa untuk mendulang kerja-kerja guna pergerakan ekonomi desa massive sehingga tercapainya kesejahteraan warga desa. Pelaku-pelaku ini secara institusi seperti UMKM, Koperasi, BUMDes, LSM lokal yang berbasis di Kecamatan atau Kabupaten, serta entitas ekonomi lainnya. Kesemua entitas ini harus berkolaborasi untuk penciptaan lapangan kerja, peningkatan investasi dan pengurangan kemiskinan.
Desa Berkreasi
Dengan efek fenomena anak-anak millennial ini, banyak desa-desa saat ini yang mendapatkan keuntungan darinya, seperti yang tertutur di atas. Penciptaan produk untuk desa wisata – selain dari indahnya pemandangan desa itu sendiri – seperti live in, kuliner desa, home stay, sejarah dan budaya, dan lainya merupakan terobosan (inovasi) desa melakukan kreasi untuk kesejateraan warganya. Melalui desa berkreasi, tentunya juga dapat dikembangkan produk-produk lainnya, seperti produk jasa (peyewaan kendaraan, penjualan bahan material), keuangan (simpan pinjam, penyertaan modal), penyediaan klinik, dll. Itu semua tentunya tergantung dari karakteristik lokasi dan kondisi fisik desa itu sendiri serta kemauan masyarakat desa yang tertuang dalam musyawarah desa (Musdes).
Berbicara karakteristik dan kondisi fisik, secara umum 80% sumber daya ekonomi desa adalah bersumber pada pertanian, dalam artian luas seperti perkebunan, perternakan, perikanan dan kehutanan. Melalui pemahaman ini, desa (warga) harus menyadari betul potensi apa yang akan dikembangkan untuk mensejahterakan desanya. Beberapa contoh sukses desa-desa yang mengembangkan sektor kehutanan, perkebunan dan perikanan.
Di Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, menjadi contoh desa yang mendapatkan pembayaran jasa lingkungan karena dianggap telah berhasil menjaga hutan. Pembayaran ini dilakukan dengan pertimbangan masyarakat sudah mampu mengurangi degradasi dan deforestasi. Masyarakat juga dinilai sudah dapat melakukan kesepakatan berdasarkan persyaratan yang telah disepakati oleh Lembaga Desa Kelola Hutan Desa (LDPHD) dengan pihak CFES (Community Forest Ecosystem Services).
Hutan Desa Manjau berada di Kecamatan Matan Hilir Utara, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat, yang merupakan desa dampingan Flora Fauna International – Indonesia Program (FFI-IP) dalam program REDD+ (Reduction Emission from Degradation and Deforestation +). Pengelolaan hutan desa ini dilakukan oleh masyarakat dan LDPHD.
Masih di Kalimantan Barat, di Kabupaten Kubu Raya, tepatnya di Desa Tanjung Harapan, Kecamatan Batu Ampar masyarakat desa memproduksi madu dari lebah hutan (Apis Dorsata). Madu yang diproduksi di hutan mangrove/bakau ini omzet tiap bulannya mencapai Rp 300 juta. Keberhasilan ini tidak lain dari sinerginya program Perhutanan Sosial yang diprakarsai oleh Pemerintah Pusat dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Melalui program ini, dan difasilitasi oleh LSM Lokal {Sahabat Masyarakat Pantai (SAMPAN) } masyarakat Desa Tanjung Harapan menghasilkan penghasilan tambahan, selain dari profesi utamanya sebagai nelayan dan berkebun (petani kopra).
Juga, Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Desa Tanjung Harapan, yang tergabung dalam LPHD Tanjung Harapan juga menggagas ekowisata hutan mangrove dan budidaya kepiting. Kedua potensi ini juga cukup menjanjikan untuk alternatif pendapatan masyarakat desa.
Selain di Pulau Kalimantan, penulis sendiri pernah melihat langsung desa-desa berkreasi yang memanfaatkan potensi desanya dan melakukan terobosan-terobosan. Desa-desa ini berada di Pulau Sumatera, seperti di Provinsi Jambi, Provinsi Sumatera Barat, serta di Pulau Lombok, di Provinsi NTB. Pemanfaatan pertanian secara luas menjadi dominasi desa-desa berkreasi untuk mewujudkan kesejateraan bagi warga desanya.
Desa Membangun, Negara Terdukung
Kurang lebih terdapat 25.383 desa (dari 74.957 desa di Indonesia) yang masuk atau berada di wilayah kawasan hutan dengan jumlah penduduk sekitar 48,8 juta dan 10,2 juta jiwa masuk kategori miskin. Dalam kenyataan, keberadaan angka-angka ini akan dapat menimbulkan massive societal problems apabila tidak ada intervensi program-program pengembangan ekonomi lokal yang dikelola dengan baik dan tepat sasaran.
Mengambil contoh seperti ulasan di atas, yaitu dari sektor kehutanan, lebih tepatnya melalui program Perhutanan Sosial, melalui program ini, warga desa dapat meningkatkan kesejahteraannya melalui kombinasi usaha perekonomian di sektor hutan (seperti contoh pengelolaan hutan desa di atas). Produk kombinasi usaha perekonomian di sektor hutan antara lain Jasa Lingkungan (Carbon Trading, Forest/EcoTourism & pembayaran dari pengelolaan air (micro-hydro, PAM); Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK): Madu, Rotan, Pala, Durian, Aren, Bambu; dan Hasil Hutan Kayu.
Selain dari tujuan utama untuk peningkatan kesejahteraan warga, program Perhutanan Sosial ini juga dapat mencegah dampak deforestasi (pengurangan hutan karena illegal logging, untuk perkebunan illegal, atau untuk pertambangan). Dengan terjaganya hutan, sumber kehidupan masyarakat pastinya terjamin, yaitu air dan udara yang bersih, serta kebutuhan dasar lainnya. Dampak buruk juga dapat dihindari seperti banjir ataupun kekeringan serta kebakaran hutan.
Salah satu negara Skandinavia, Swedia, menerapkan pola yang sama, yaitu usaha perekonomian di sektor hutan, yang difasilitasi oleh badan usaha: koperasi. Koperasi ini mendapatkan hak dari Pemerintah Swedia untuk mengelola areal hutan yang ditanami pepohonan endemic, yang mana tiap 10-15 tahunnya dipanen dan diolah menjadi bahan bakar pembangkit listrik biomasa, yaitu proses pembakaran agricultural waste dalam kuantitas tertentu untuk menghasilkan energi listrik (energi baru terbarukan/EBT). Uniknya melalui fasilitasi dari koperasi tersebut, listrik di kota tersebut sepenuhnya di-supply dari listrik EBT, bahkan kelebihan produksi listriknya dijual ke kota tetangga.
Apa yang telah disebutkan di atas, garis besar dari membangun desa kesemuanya harus mendukung, yang dalam hal ini pro-jobs (menciptakan lapangan pekerjaan), pro-poor (meningkatkan pendapatan masyarakat), pro-growth (pengembangan industry kecil olahan HHK dan HHBK), pro-environment (perbaikan lingkungan), dan pro-green economy (mempercepat rehabilitasi hutan dan lahan kritis).
Selain itu apapun bentuk entitas usaha ekonomi di desa, baik itu BUMDes, Koperasi, UMKM, ataupun LSM Lokal yang bergerak untuk pembangunan ekonomi desa, syarat-syarat untuk mengembangkan produk yang potensial di desa harus memiliki:
1. Nilai jual yang tinggi
Usaha yang memiliki nilai jual sangat tinggi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi potensi usaha di desa. Untuk itu, desa harus memiliki usaha yang memiliki nilai jual tinggi dari suatu produk usaha di masyarakat dengan harga yang stabil dan tidak mudah goyah.
2. Memenuhi kebutuhan masyarakat
Usaha itu dapat memenuhi kebutuhan masyarakat luas, misalnya usaha penjualan bahan-bahan pokok dan keperluan rumah tangga. Jika usahanya dapat memberikan jawaban terhadap kebutuhan sebagian besar masyarakat maka usaha tersebut dapat disebut sebagai usaha yang potensial untuk terus dijalankan dan dikembangkan.
3. Memiliki risiko kerugian kecil
Usaha yang besar biasanya memiliki potensi kerugian yang besar pula maka untuk menyiasati hal hal yang tidak dapat diprediksi maka usaha yang dipilih harus memiliki kerugian yang kecil. Misalkan keuntungan bisnis usaha sembako.
4. Tidak bersifat sementara atau musiman
Usaha yang bersifat sementara atau musiman biasanya memberikan keuntungan yang jauh lebih besar seperti contohnya usaha kuliner.
5. Bertahan lama di pasar
Untuk mencapai usaha yang potensial maka harus menjawab kebutuhan masyarakat yang bertahan lama di pasar.
6. Original
Jika usaha bersifat murni dan tidak meniru maka usaha yang dijalankan dapat menarik minat konsumen dan akan mudah untuk diingat oleh konsumen. Karena usaha itu memiliki ciri khasnya tersendiri yang membuat konsumen mengingat usaha tersebut.
7. Sesuai keinginan konsumen
Jika perlu dilakukan survei agar dapat diketahui hal-hal yang benar-benar dibutuhkan dan diinginkan oleh konsumen.
8. Tingkat visibilitas teruji
Ada baiknya sebelum menetapkan suatu usaha yang ingin digeluti dapat dilakukan riset kecil mengenai ini untuk melakukan uji coba kelayakan suatu produk atau jasa yang ingin Anda tawarkan tersebut.
9. Produk inovatif dan kreatif
Catatan*:
Desa Wisata Kaki Langit memanfaatkan 10% areal Hutan Lindung dari total 160 hektar, yang pemanfaatannya harus memenuhi tata ruang hijau yang diamanatkan oleh Peraturan Menteri Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Terdapat 8 paket wisata yang salah satunya, Wisata Desa Kaki Langit.
Penulis: Novel Abdul Gofur (Associate/Partner – PT Usaha Desa)