Wakil Presiden Jusuf Kalla Resmikan Institut Otonomi Daerah

Masih dalam rangkaian peringatan nasional Hari Otonomi Daerah yang ke-20, Wakil Presiden Jusuf Kalla meresmikan Institut Otonomi Daerah (i-Otda) di Jakarta, Selasa (26/4). Dalam sambutan singkatnya, Wapres Jusuf Kalla berseloroh, “Tadinya i-Otda itu saya pikir singkatan dari internet karena di sini ada seminar tentang smart city juga, tapi ternyata institut.”  

 

institut otonomi daerah

(Sumber Berita dan Foto: Kemendagri. Tampak Wakil Presiden Jusuf Kalla menekan tombol simbol peresmian Institut Otonomi Daerah di Jakarta dalam rangkaian Hari Otonomi Daerah, Selasa (26/4).

Wapres berharap berharap i-Otda bisa memberikan manfaat dalam pemikiran-pemikiran mengenai otonomi daerah. “Saya hanya mengingatkan bahwa yang permanen adalah perubahan. Teknologi berubah, maka sistem pemerintahan harus berubah,” pesan Wapres.

Wapres mengatakan, peringatan 20 tahun otonomi daerah memberikan makna otonomi daerah bukan hanya pada zaman reformasi. Menurutnya, sebelum era reformasi, otonomi daerah lebih terbatas dan setelah reformasi diperluas. “Sebelumnya, kita juga bicara dalam konteks otonomi daerah yang lebih terbatas. Tapi, setelah reformasi, otonomi lebih diperluas. Punya sejarah tersendiri,” imbuhnya.

Wapres juga mengatakan, prinsip pokok yang perlu diketahui, politik dan pemerintahan selalu sejalan. Pada zaman Orde Baru, politik otoriter dan pemerintahannya sentralistik. Saat reformasi, politiknya lebih demokratis, maka pemerintahannya lebih otonom. “Karena, pemerintahan yang bersifat lebih otonom bisa menciptakan suatu demokrasi dari bawah. Sedangkan saat otoriter, semua dari atas. Otomatis pemerintahannya sentralistik. Itu hukum yang terjadi di mana pun,” tambahnya.

Menurut Wapres, awal otonomi daerah diperluas pada 1998 dimulai dengan TAP MPR Nomor 15 Tahun 1998. Setelah jatuhnya Presiden Soeharto, keinginan sidang MPR hanya satu yaitu bagaimana mempercepat pemilu. Wapres menyambung, “Namun, dalam beberapa pembicaraan itu tentu lebih demokratis. Saya sebagai ketua forum utusan daerah mengatakan Anda semua di Jakarta ingin mempercepat pemilu, kami di daerah ingin percepat otonomi daerah. Jadi, pembicaraannya terbagi dua tentang pemilu dan otda.”

Saat itu, tutur Wapres, Jenderal Widodo bertanya apakah utusan daerah memiliki konsep otda. Padahal, saat itu belum ada konsepnya. Ia pun diminta memaparkan konsepnya keesokan harinya. “Saya konsultasi dengan dua orang saja. Bagaimana konsep pemerintahan dan keuangan di otda. Pagi saya masukkan konsepnya. Setelah banyak perubahan, jadilah TAP Nomor 15 Tahun 1998 yang menurun menjadi undang-undang (UU). Karena, waktu itu apa pun UU harus ada cantolannya,” Wapres menambahkan.

Konsepnya saat itu lebih pada otonomi provinsi. Tapi, dengan berbagai pertimbangan, otonomi menjadi double dan turun ke tingkat dua. Hal itu sempat membingungkan. Tapi, dinamika dan perubahan tersebut yang akhirnya dihadapi dewasa ini. “Otonomi daerah adalah suatu keharusan sejalan dengan perubahan mendasar sistem perpolitikan kita dari sentralistik ke desentralistik atau otonom. Itu arah perjalanan kita semua, pemerintahan ini yang kita harus pahami dan jalankan,” tukas Wapres. (*)