Dalam rangka memperingati Hari Agraria Nasional, Pusat Penelitian dan Pengembangan Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyelenggarakan forum ilmiah di Jakarta, Rabu (26/9/2018). Sekretaris Jenderal Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional, Himawan Arif Sugoto dalam sambutannya menekankan bahwa Reforma Agraria tidak hanya dipahami sebagai sebuah kebijakan redistribusi lahan, tapi juga merupakan sebuah proses yang lebih luas meliputi akses terhadap sumber daya, modal, ekonomi, dan pasar.
“Pengurangan kepemilikan lahan sebagai hasil reforma agraria akan berdampak lineir terhadap peningkatan kesejahteraan masyarakat petani gurem, buruh tani yang berdampak pada keadilan sosial yang lebih luas. Reforma agraria akan berjalan jika infrastruktur tersedia dengan baik dan ini didukung berbagai pihak sebagai program bersama,” papar Himawan.
Dalam seminar sehari bertajuk “Reforma Agraria sebagai Perwujudan Kesejahteraan dan Keadilan Rakyat”, tampil sebagai pembicara pertama adalah Dr. Yuswanda A. Temenggung yang menjelaskan ‘Hakekat Reforma Agraria untuk Mendukung Nawa cita Melalui Redistribusi Tanah”. Yuswanda memberikan gambaran bahwa topik reformasi agraria memang menjadi butir Nawa Cita ke-5 yaknia: Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia-Mendorong land reform dan program kepemilikan tanah seluas 9 juta hektar. “Poin ini kemudian diberikan payung hukum yang tertuang dalam RPJMN 2015-2019 yang mana arah kebijakan pertanahan lewat reforma agraria melalui redistribusi tanah dan bantuan pemberdayaan manusia,” jelas Yuswanda.
Lebih lanjut Yuswanda menggarisbawahi kunci keberhasilan reforma agraria, akan ditentukan oleh komitmen, konsistensi dan sinergitas, keberlanjutan, data dan informasi yang akurat, dana yang cukup, selalu mengevaluasi model implementasi, kelembagaan dan penegakan hukum, serta kesiapan masyarakat. “Mari kita semua elemen masyarakat baik secara individu maupun kelembagaan bisa memberikan kontribusi masing-masing untuk mengawal reforma agraria ini. Jangan pernah merasa capek dengan reforma agraria,” tegasnya.
Sementara itu, Dirjen Penataan Agraria Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Dr. HS M. Ikhsan, SH, MSi, MH memberikan kabar gembira bahwa pada 24 September Perpres No.86 Tahun 2018 sudah ditandatangani oleh Presiden, tinggal diundangkan saja. Terkait dengan target Reforma Agraria yang 9 Juta hektar, Ikhsan memberikan update pencapaian di masing-masing sub kegiatan. Untuk Legalisasi Aset meliputi; 1) Tanah Transmigrasi yang belum tersertifikat dari target 0,6 ha telah terealisir 75.600 (12,6%), 2) Legalisasi aset dari target 3,9 juta ha, terealisir 1.832.970 ha (47%). Sedangkan untuk Redistribusi Tanah mencakup; 1) HGU tidak diperpanjang/diperbarui dan tidak digunakan/dimanfaatkan, tanah terlantar dan tanah negara lainnya dari target 0,4 ha terealisir 236.186 ha (59%), 2) Pelepasan Kawasan Hutan dari target 4,1 juta ha terealisir 994761 ha (24,3%).
Dirjen Hubungan Hukum Keagrarian Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Djamaluddin, SH, M.Hum menjelaskan tentang topik Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) untuk Mendorong Reforma Agraria dalam Memberikan Kepastian Hukum dan Keadilan dan mengajak semua pihak bisa terlibat aktif. “Di antaranya peran kepala daerah ini sangatlah penting dalam mempermudah kegiatan PTSL di daerahnya masing-masing. Kebijakan kepala daerah yang meringankan bahkan menghapus biaya-biaya terkait pengurusan sertifikat jelas sangat membantu masyarakat,” imbuhnya.
Syaiful Bahari dari anggota dewan pertimbangan Aliansi Masyarakat Sipil untuk Indonesia Hebat juga menyambut baik telah ditandatanganinya Perpres No.86 Tahun 2018 sebagai pegangan untuk bisa mempercepat tercapainya reforma agraria. Syaiful menilai kebijakan pemerintah pusat dalam menjalankan reforma agraria melalui dua skema; pemberian hak pengelolaan tanah kehutanan melalui program perhutanan sosial dan redistribusi lahan pertanian yang bersumber dari tanah terlamtar, mejadi momentum bagi Indonesia untuk melakukan transformasi sektor pertanian dan pedesaan ke arah struktur masyarakat pertanian modern.
Model pemberian hak dari tanah-tanah negara yang menjadi obyek reforma agraria, imbuh Syaiful harus diubah. “Tidak lagi berbasis individual tetapi harus berbentuk kolektif/koperasi,” tambahnya. Hal ini, jelas Syaiful bertujuan untuk merubah budaya produksi konvensional ke produksi modern, mencegah lahirnya individualisme komersial atas penguasaan tanah negara, serta menjaga tanah cadangan negara agar dapat digunakan untuk kepentingan rakyat atau pada saat krisis pangan. Dalam pelaksanaan reforma agraria, saran Syaiful, harus terintegrasi dengan program kementerian lainnya, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Kementerian Badan Usaha Milik Negara serta tidak ketinggalan Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah. (*)