Jakarta, Apkasi.org. Sidang gugatan uji materi (judicial review) atas UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah di Mahkamah Konstitusi (MK) akan memasuki sidang yang ke-3, pada Kamis (28/4/16). Seperti diketahui UU No.23 Tahun 2014 ini digugat oleh sejumlah Bupati yang bernaung di bawah Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), karena dalam praktek di lapangannya sangat merugikan masyarakat yang ada di daerah. Pada sidang kali ini, akan diagendakan keterangan dua saksi ahli dan beberapa saksi fakta yang berasal dari kalangan masyarakat yang merasakan langsung dampak negatif implementasi UU tersebut.
(Sumber Foto: MK)
Tim Kuasa Hukum Apkasi, Andi Syafrani, SH., MCCL untuk sidang kali ini mengajukan 2 saksi ahli, yakni masing-masing: pakar hukum tata negara Dr. Rifqynizami Karsayuda, SH, LLM dan Guru Besar Fakultas Universitas Hasanuddin (Unhas), Prof Abrar Saleng yang memiliki kepakaran di bidang energi dan pertambangan. Rifqynizami, dalam kesempatan sidang MK yang ke-5 menekankan bahwa sejarah pembentukan Konstitusi kita menyisakan banyak hikmah.
“Salah satu hikmah pentingnya ialah hadirnya konsensus dari para pembentuk Konstitusi kita untuk melahirkan suatu bentuk Negara Kesatuan yang desentralistik. Konsensus ini dibangun atas kesadaran penuh bahwa Indonesia ialah suatu bangsa yang sejatinya terdiri dari kebhinekaan atau kemajemukan. Kebhinekaan itu harus terus diberi ruang dalam Negara yang kelak akan terbentuk. Kebhinekaan hanya bisa tumbuh, jika ia tak dipaksa untuk disamaratakan. Karenanya, bangunan Negara Kesatuan yang dalam banyak prakteknya di Negara lain cenderung sangat sentralistik tak dapat digunakan bagi bangunan Indonesia yang berbhineka,” terang Rifqi.
Menurut Rifqy konsensus di atas sekaligus mengakhiri debat panjang para perumus Konstitusi dalam sidang BPUPKI dan PPKI pada 1945 yang hendak membentuk Negara federalis pada satu pihak dan Negara kesatuan pada pihak yang lain, kala itu. Atas pandangan demikianlah, UUD 1945 merumuskan bentuk Negara kesatuan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1) UUD 1945. Namun, di pihak yang lain, UUD 1945 juga memberikan ruang bagi daerah berdasarkan hak asal usul dan keistimewaannya, sebagaimana dimanahkan oleh Pasal 18 UUD 1945 .
Komitmen untuk menghadirkan Negara kesatuan yang desentralistik itu, kata Rifqy lagi, sekarang terbentur dengan kehadiran UU No.23 Tahun 2014 sebagaimana dimohonkan pemohon. Dalam UU a quo, keinginan untuk mensentralisasikan kekuasaan atau setidak-tidaknya membatasi kewenangan yang dimiliki daerah, amat terlihat. Pengingkaran akan konsesus pendiri bangsa melalui perumusan Konstitusi di awal kemerdekaan itu, bukan hanya berpotensi pada semakin panjangnya mata rantai birokrasi dan buruknya pelayanan publik, melainkan bisa jadi pula akan menghadirkan pemerintahan yang cenderung sewenang-wenang, bahkan bukan tidak mungkin bisa turut serta menghadirkan bibit-bibit disintegrasi nasional.
Kalau kita mau mengingat sejarah pula, tegas Rifqy, maka salah satu tuntutan reformasi 1998 adalah keinginan untuk merubah sistem pemerintahan yang sentralistik menjadi desentralistik. MPR RI yang kala itu sebagai lembaga tertinggi Negara melalui Ketetapan MPR No. XV/MPR/1998 tentang Penyelenggaraan Otonomi Daerah; Pengaturan Pembagian, dan Pemanfaatan Sumber Daya Nasional yang Berkeadilan; serta Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah dalam Kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. mengakui bahwa pembangunan daerah adalah bagian integral dari pembangunan nasional yang harus dilaksanakan melalui otonomi daerah, pengaturan sumber daya nasional yang berkeadilan, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
Penyelenggaraan otonomi daerah, pengaturan, pembagian dan pemanfaatan sumber daya nasional serta perimbangan keuangan antara pusat dan daerah pada masa Orde Baru belum dilaksanakan secara proporsional sesuai dengan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan dan pemerataan. “Sekali lagi. Hal-hal tersebutlah yang turut menyumbang hadirnya gerakan reformasi 1998 dengan harapan agar terjadi perbaikan yang signifikan dalam konteks hubungan pusat-daerah. Spirit TAP MPR a quo pula yang menjadi ilham hadirnya amandemen Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945 yang sekarang berlaku, tambah Rifqi.
Selain saksi ahli, dalam sidang juga dihadirkan 4 saksi fakta. Saksi fakta ini merupakan orang per orang yang sebetulnya ia mewakili anggota komunitas, rekan seprofesi dan masyarakat luas yang terdampak langsung akibat pemberlakuan UU No.23 Tahun 2014. Saksi-saki fakta ini mewakili beberapa kelompok usaha atau sektor di antaranya, nelayan (kelautan), guru (pendidikan), penambang (pertambangan), serta sektor perhubungan.
Adalah Edy Alwi, salah satu saksi fakta yang merupakan Ketua DPC HNSI (Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia) Batubara. Edy menceritakan bahwa di daerahnya Kabupaten Batubara yang memiliki luas 904.96 km, dengan jumlah penduduk sebanyak 382.474 jiwa, dan dari 7 Kecamatan, 5 kecamatan di antaranya pesisir. “Sebanyak 30” masyarakat Batubara adalah nelayan,” ujar Edy.
Edy lantas menceritakan bahwa setelah ada UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Kabupaten Batubara tidak memiliki kewenangan untuk melakukan pembinaan dan pengawasan serta penindakan terhadap keributan antar Nelayan Tradisional dengan Nelayan Petrol atau Nelayan Pukat Gerandong. “Akibatnya nelayan pukat merajalela tanpa pengawasan dari Negara karena pemerintah provinsi tidak bisa mengawasi karena kendala jarak yaitu sekitar 180 km dan sumber daya sementara pihak kabupaten tidak memiliki kewenangan. Bentrok berdarah sering terjadi karena kabupaten tidak hadir. Sudah ada meninggal 12 nelayan karena bentrok berdarah,” tutur Edy.
Edy menambahkan, “Sejak 2014 sampai 2016, para nelayan kami ditangkap di Malaysia kurang lebih 200 orang. Mereka ini ditangkap karena mereka melaut di perairan Malaysia. Nelayan ini mencari ikan hingga ke Malaysia, karena ikan di laut sendiri sudah habis oleh kapal patrol dan pukat yang dahulu bisa diawasi oleh Kabupaten. Sekarang setelah kabupaten tidak punya kewenangan, kapal-kapal itu merajalela, bahkan Kapal Pol Airut ditantang oleh Kapal Pukat itu.”
Kisah sedih para nelayan di Batubara yang ditangkap di Malaysia makin menjadi-jadi manakala ada imbas dari UU No.23 Tahun 2014. “Kalau dulu mereka ini kurang lebih 2 minggu sudah bebas, sekarang 3 bulan pun belum tentu bisa bebas karena pihak Provinsi tidak punya cukup pengalaman untuk membebaskan para nelayan ini,” kata Edy sambil menambahkan untuk melapor atau mengadu ke Provinsi itu setidaknya bisa menghabiskan uang Rp 5 juta, yang bahkan karena sekarang ini mengurus izini sangat sulit, bisa-bisa kapal bisa dijual untuk biaya melapor ke provinsi. Edy pun berharap Hakim di Mahkamah Konstitusi bisa memahami komunitas para nelayan ini yang terancam periuk nasinya. Para nelayan tradisional, sebut Edy, sangat dirugikan dengan ditariknya kewenangan kabupaten karena kini muncul berbagai kesulitan-kesulitan di lapangan serta tidak adanya fungsi pengawasan dan pembinaan yang sebetulnya ini sangat dibutuhkan oleh para nelayan.
Dampak UU No.23 Tahun 2014 di bidang Pendidikan juga dirasakan oleh Drs. Isar Dasuki Tasim, SE, MSI, Kepala Sekolah SMA Negeri 5 Kabupaten Tangerang. Isar mengatakan sejak berlakunya Undang-undang No 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah dirasakan menjadi kemunduran melihat kabupaten sejauh ini sudah cukup mampu secara otonom melaksanakan urusan pendidikan melihat banyaknya perkembangan dan prestasi dari tahun ke tahun. Karena semenjak urusan perijinan langsung ke provinsi pelaksanaan admistrasi menjadi jauh, tidak efektif dan efisiensi dirasakan seperti dalam hal mutasi siswa maupun guru.
“Dikarenakan kondisi dan kebijakan di setiap Kabupaten tidak sama, seperti dalam hal SPP gratis dan Iuran Komite, maka Provinsi justru tidak akan optimal dalam mengelola urusan pendidikan yang sejatinya telah menjadi kebijakan Kabupaten pada awalnya, dan akan menjadi persoalan bagi orang tua murid yang biasanya tidak membayar SPP karena mendapat kebijakan uang sekolah gratis dari Kabupaten dan ini berdampak meningkatnya murid putus sekolah di Kabupaten, ditambah penerimaan siswa baru menjadi tidak efektif,” papar Isar.
Isar juga menjelaskan, dengan aturan yang baru maka mata pelajaran muatan lokal menjadi wewenang provinsi, di mana pelajaran muatan lokal sebelumnya mengajar membaca Al-Qur’an dan di ampu banyak tenaga pengajar berlatar belakang Pendidikan SAG. Isar mengatakan, “Saat ini tenaga pengajar tersebut tidak lagi diberdayakan karena muatan lokal saat ini dititikberatkan pada muatan seni budaya, pencak silat dan lain-lain, yang sejatinya belum ada tenaga pengajar professional atau Sumber Daya Manusia-nya, sehingga Materi Pelajaran Muatan Lokal saat ini tidak berjalan.”
Hal lain yang mendapat sorotan serius dari kalangan guru-guru, imbuh Isar, selama ini Kabupaten telah mampu memberikan Tunjangan Daerah (Honorarium Daerah) terhadap pelaksana bidang pendidikan karena dianggap Kabupaten yang lebih tahu dan lebih mampu untuk mengurus langsung pelaksanaan pendidikan di Kabupaten, terlebih terhadap menjadi tenaga pengajar yang sifatnya masih honorarium, dan saat ini kewenangan tersebut menjadi kewenangan provinsi dan itu dapat saja menjadi penurunan terhadap jumlah yang diterima dari sebelumnya, karena setiap Kabupaten tidaklah sama.
Dari sektor pertambangan, Ilham salah satu wakil dari Kabupaten Kapuas, Kalimantan Tengah, yang sehari-hari mengurusi Tambang Galian C. Terhambatnya izin pengurusan peningkatan izin dari eksplorasi ke operasi produksi tambang galian C di Kabupaten Kapuas, membawa kerugian yang diderita oleh saksi akibat izin operasi produksi yang tidak kunjung keluar. “Kami keluar dana sangat besar karena masyarakat tambang harus iuran untuk pengurusan izin ke Provinsi ditambah jarak antara desa tempat tinggal dengan Provinsi memakan waktu 8 jam. Berangkat jam 6 sampai kurang lebih jam 3 sore,” imbuh Ilham.
Sedangkan Abdul Rachman Atd, selaku Kepala Dinas Perhubungan Pemerintah Kota Sukabumi berkisah bahwa sebelum UU 23 Tahun 2014 disahkan, Terminal A (Antar, Dalam, Propinsi/Antara Kota) B, Dalam Provinsi Dan C Kota dipegang oleh Dishub Kabupaten. Setelah ada UU maka kewenangannya dipisah. Terminal A Milik Pusat, B Milik Provinsi dan Terminal C diurus Kota yang notabene hanya mengurusi angkot-angkot kecil. Terminal Tipe A Sejak Tahun 2001 telah disiapkan oleh Pemerintah Kota Sukabumi, tahun ini rencana dioperasionalkan namun karena muncul UU No. 23 Tahun 2014 maka tidak bisa dioperasikan. “Kerugian Pemda berkenaan dengan urusan transportasi adalah, aset Pemda yang sudah 15 tahun dijaga kota akan diambilalih, retribusi tidak lagi menjadi PAD, pengaturan Lebaran menjadi urusan pusat dan provinsi, masyarakat juga mengalami kerugian,” tukas Rachman. (*)