Beberapa hari terakhir marak pemberitaan besaran dana pemerintah daerah (pemda) yang mengendap di perbankan (dana idle). Data Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan hingga akhir semester pertama 2017 mencatat sebesar Rp 222,6 triliun. Angka ini naik Rp 7,9 triliun atau 3,68% dibanding periode yang sama pada tahun lalu sebesar Rp 214,7 triliun, namun bila dibandingkan dengan posisi per Mei 2017 sebesar Rp.244,5 triliun, terjadi penurunan Rp.21,9 triliun.
(Presiden Jokowi saat meninjauan pembangunan proyek Trans Papua/Dok: PUPR)
Atas fakta ini Budiarso menjelaskan bahwa dana simpanan pemda di perbankan pada dasarnya merupakan pendapatan APBD yang belum dapat digunakan untuk mendanai rencana belanja daerah. “Bisa disebabkan karena sebagian proyek pembangunan belum dilaksanakan atau kegiatannya sudah dilaksanakan namun belum selesai sehingga belum dapat dilunasi pembayarannya. Dengan demikian, tidak berarti semua simpanan dana pemda tersebut merupakan dana yang menganggur atau mengendap di bank. Sepanjang jumlah dana simpanan tersebut masih sesuai dengan kebutuhan belanja operasional dan belanja modal untuk 3 bulan ke depan, hal ini masih wajar,” kata Budiarso seperti ditulis Media Indonesia.
Apabila jumlahnya sudah melampaui dari kebutuhan belanja operasional dan belanja modal 3 bulan ke depan, imbuh Budiarso, hal tersebut harus diwaspadai karena mengindikasikan adanya keterlambatan pelaksanaan kegiatan atau proyek isik yang bisa menganggu penyediaan infrastruktur dan sarana/prasarana pelayanan publik yang dibutuhkan masyarakat.
Sementara itu Ketua Umum Asosiasi Pemerintahan Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi), Mardani H. Maming mengatakan, besarnya pemda yang mengendap di perbankan (dana idle) yang tercatat hingga akhir semester pertama 2017 disebabkan telatnya pencairan dana. Menurut Mardani, hal ini merupakan berita lama karena siklusnya selalu seperti itu setiap tahun. “Dana pemda baik bagi hasil, alokasi umum, dan khusus itu selalu telat,” kata Mardani ketika dihubungi KONTAN, Senin (31/7).
Selain dana yang telat turun, dana yang sudah masuk di kas pemda pun tak bisa digunakan begitu saja. Mardani menjelaskan, proses pelelangan harus dilakukan untuk pelaksanaan penyerapan anggaran. Jika lelang berhasil, maka dana dapat cair dan bisa digunakan. “Akan tetapi, lelang kan tidak selalu berjalan mulus. Kadang lancar, kadang tidak. Kadang juga ada syarat yang tidak terpenuhi dari pemenang lelang sehingga kita tidak bisa langsung memakai dana di kas daerah,” tuturnya menjelaskan.
Mardani berharap, pemerintah pusat dapat mensinkronisasi kebijakan di daerah, utamanya pengaliran dana alokasi umum (DAU). Jika pengaliran DAU terhambat dan terlambat, maka pembangunan di daerah pun terhambat. Belum ditambah proses lelang dan proses lainnya dalam pembangunan.
Ia memperkirakan dengan telat turunnya dana pemda ini, maka proses pelelangan dan penyerapan dana pun baru dapat dikerjakan pada Agustus atau September mendatang. “Hal ini sudah pernah dibicarakan dalam Rakernas kami (Apkasi) dan diberikan kepada pemerintah pusat sebagai saran. Kami berharap pemerintah pusat bisa mensinkronisasi kebijakan pencairan dana baik petunjuk pelaksanaannya maupun teknisnya,” imbuh Mardani.
Pemerintah pusat sendiri dalam rangka mendorong daerah agar dapat mengendalikan posisi kas yang wajar, termasuk dana pemda yang disimpan di bank, sesuai ketentuan UU No.18/2016 tentang APBN TA 2017 dan PMK No.18/2017 tentang Konversi Penyaluran DBH dan/atau DAU dalam bentuk nontunai, dapat mengonversi penyaluran DAU dan/atau DBH ke dalam SBN bagi daerah yang memiliki posisi kas tidak wajar. Dengan adanya kebijakan tersebut, daerah diharapkan dapat segera menggunakan dananya terutama untuk belanja yang produktif, dalam membangun infrastruktur dan sarana pelayanan publik yang memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. (*)