
Jimbaran Bali, Apkasi.org. Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (Apkasi) memberikan dukungan atas diselenggarakannya persiapan menuju ajang World Water Forum ke-10 di Bali. Hal ini tampak dari kehadiran Ketua Umum Apkasi Sutan Riska Tuanku Kerajaan dalam pertemuan bersama dengan Presiden World Water Council Loïc Fauchon, Menteri PUPR yang diwakili Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Mohammad Zainal Fatah selaku Ketua Sekretariat NOC dan Ketua Dewan Pengurus Apeksi Bima Arya Sugiarto di Jimbaran, Badung-Bali, Selasa (10/10/2023).
[Tampak dari kiri-kanan: Ketua Dewan Pengurus Apeksi Bima Arya (Walikota Bogor), Presiden World Water Council Loïc Fauchon, Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Mohammad Zainal dan Ketua Umum Apkasi Sutan Riska Tuanku Kerajaan. Foto: Humas Apkasi]
Dalam kesempatan tersebut, Sutan Riska menyampaikan rasa hormat dan terima kasih yang setinggi-tingginya kepada Menteri PU yang berkenan mengundang Apkasi berdiskusi mengenai peran Pemerintah Kabupaten/Kota dalam menyelesaikan beberapa isu tentang air dan merealisasikan rencana pentingnya di ajang World Water Forum ke-10 yang akan digelar di Bali, 18-24 Mei 2024.
“Jika selama ini kita mengira, matahari adalah entitas tertua di jagad raya, maka kita keliru. Para saintis telah mengungkap bahwa air yang ada di bumi, berusia jauh lebih tua dari matahari. Ia berasal dari luar tata surya kita dan melewati perjalanan jutaan tahun cahaya untuk mencapai bumi. Untuk memberi kita kehidupan,” katanya.
Sutan Riska yang juga Bupati Dharmasraya ini menambahkan perjalanan air adalah perjalanan keajaiban. Ketika Elon Musk berambisi menjadikan Mars sebagai planet baru untuk menggantikan bumi yang terancam punah karena krisis iklim, ia menemui tembok tebal yang tak dapat ditembus. Mars boleh saja memiliki struktur atmosfir yang bisa dimodifikasi untuk sumber oksigen makhluk hidup, tapi ia gagal mendapatkan satu substansi penting yang menjadi kunci segala denyut nadi yaitu air.
Maka tak heran, terang Sutan Riska, jika nenek moyang dan leluhur-leluhur, sejak asal mula telah memuliakan air sebagaimana kehidupan itu sendiri. Ia berujar, “Mata air disakralkan. Sungai-sungai dijaga. Laut disucikan dengan berbagai ritual dan penjagaan. Semesta dan manusia hidup dalam keselarasan yang hakiki. Saling jaga, saling beri, saling lindungi.”
Sutan Riska dalam kesempatan pertemuan bersama tersebut juga mengatakan Apkasi yang beranggotakan 416 pemerintah kabupaten yang terletak di seluruh Indonesia baik di dataran rendah, dataran tinggi, pegunungan, kepulauan, dan pesisir sedang menghadapi isu air yang berbeda-beda.
“Namun, terdapat beberapa isu yang sama yang perlu menjadi perhatian kita semua, antara lain pertama ketersediaan air baku baik dari segi kualitas maupun kuantitas yang semakin terbatas. Kebutuhan air di daerah terus meningkat seiring dengan dengan pertumbuhan jumlah penduduk,” katanya.
Bappenas memperkirakan kebutuhan air akan terus meningkat terutama untuk industri, rumah tangga dan irigasi. Proyeksi kebutuhan air tahunan berdasarkan sektor hingga tahun 2045 untuk industri mencapai 36.109 Juta m3/tahun, rumah tangga sebesar 27.306 juta m3/tahun dan irigasi mencapai 196.039 juta m3/tahun.
[Ketua Umum Apkasi Sutan Riska memberikan plakat kepada Sekretaris Jenderal Kementerian PUPR Mohammad Zainal. Foto: Humas Apkasi]
Di sisi lain, ketersediaan air bersih dari segi kuantitas masih belum merata terutama pada musim kemarau. Pada musim kemarau banyak daerah tidak mampu memenuhi permintaan terutama di daerah Jawa dengan potensi kekeringan yang tinggi. Selain itu, kualitas sumber air terbuka masih terbatas di mana masih adanya pencemaran domestik pada aliran sungai maupun sumber air terbuka lainnya di berbagai daerah.
Hal kedua, imbuh Sutan Riska, masih banyak masyarakat di daerah yang memanfaatkan air tanah untuk kebutuhan sehari-hari. Penggunaan air tanah yang berlebihan berpotensi menimbulkan penurunan permukaan tanah, intrusi air asin, serta penurunan kualitas air karena rentan terhadap pencemaran. Sementara penggunaan air perpipaan (PDAM) cukup rendah dan sebagian besar terkonsentrasi di perkotaan. Hal ini dipengaruhi oleh keterbatasan Infrastruktur distribusi air perpipaan ke wilayah desa serta ekonomi.
Sutan Riska juga menyampaikan isu ketiga terkai penyelenggaraan Sistem Penyediaan Air Minum (SPAM) yang belum maksimal mendistribusikan air bersih ke masayarakat. Data BPS menunjukan bahwa saat ini terdapat 544 perusahaan pengelola air bersih dengan total pelanggan sebanyak 15 juta yang tersebar di seluruh daerah. Jumlah SPAM berdasarkan pulau-pulau besar sebagai berikut: Sumatera 1303 unit, Jawa dan Bali 1329 unit, Sulawesi 797 unit, Kalimantan 635 unit, Papua dan Maluku 260 unit dan Nusa Tenggara 154 unit. Namun keberadaan SPAM ini belum mampu seratus persen memenuhi kebutuhan air bersih masyarakat.
Terkait SPAM ini, Sutan Riska juga memberikan catatan tersendiri karena masih ada beberapa permasalahan yang dihadapi antara lain, pertama, tarif yang masih di bawah harga dasar (full cost recovery/FCR). “Pemkab menyadari tidak mudah menaikkan tarif air minum di atas FCR. Ada banyak pertimbangan yang perlu dilakukan, karena harus mempertimbngkan harga bahan pokok dan daya beli masyarakat. Di samping itu, kenaikan tarif juga dapat berdampak pada kenaikan inflasi daerah yang cukup siginifikan,” katanya.
Masalah kedua, masih menurut Sutan Riska soal pendanaan untuk PDAM oleh Pemerintah Daerah di mana pemkab dihadapkan pada keterbatasan dana untuk memberikan dukungan terhadap pengelolaan air bersih. Ia menambahkan, sebagian besar sumber keuangan Pemerintah kabupaten masih mengandalkan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Sedangkan untuk pengalokasiannya, imbuh Sutan Riska, dibatasi oleh adanya kebijakan mandatory spending atau pengeluaran wajib yang diatur dalam undang-undang Nomor 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah. UU tersebut mengharuskan pemerintah daerah mengalokasikan anggaran sebesar 40% untuk infrastruktur, 30% untuk belanja pegawai, 20% untuk pendidikan, dan 10% untuk kesehatan .
Di samping itu, daerah juga harus mengalokasikan Dana Desa sebesar 10% yang diamanatkan oleh UU No. 6 Tahun 2014 tentang Desa dan Dana Kelurahan sebesar 10% sebagaimana diatur dalam PP No. 17 Tahun 2018 tentang Kecamatan. Di sisi lain, sebagian pemerintah kabupaten, harus mengalokasikan sebagian besar APBD-nya untuk belanja pegawai.
Masalah ketiga, lanjut Sutan Riska masih banyaknya hutang PDAM yang belum dapat diselesaikan menjadi persoalan lama yang perlu dibenahi. Ia berujar, “Kini, ketika segalanya telah masuk dalam fase apokaliptik, kita tersadar, bahwa menyelamatkan air artinya menyelamatkan kemanusiaan. Menghancurkannya adalah menghancurkan kemanusiaan. Maka dengan ini kami, mewakili jutaan suara anak bangsa yang tak mampu bersuara, menyeru dengan sungguh-sungguh, dengan hati yang setengah luka dan setengah harap. Agar negara berada di depan, memimpin segenap tumpah darah Indonesia.”
Sutan Riska mencatat agar negara berada di depan, memimpin segenap tumpah darah Indonesia, untuk, pertama, memuliakan kembali air dengan menjaga mata-mata air yang tersebar di seluruh wilayah khatulistiwa, baik yang masih memancar dari selubung relung-relung hutan yang dalam maupun yang telah dibuka, dimanfaatkan warga maupun yang dieksploitasi oleh kepentingan industri.
Kedua, menjaga dan mengembalikan kealamian sungai, danau, rawa basah, dan laut beserta seluruh keanekaragaman hayati yang dihidupi dan menghidupinya. Sungai-sungai yang telah busuk dan merana akibat limbah, dikembalikan dengan teknologi pemurnian dan merelokasi industri serta saluran-saluran pembuangan yang terhubung langsung dengan sungai. Eksistensi sungai telah melahirkan peradaban-peradaban besar Nusantara serta mempertemukan mereka yang di gunung, lembah, kota dan pantai.
Ketiga, menghijaukan kembali hutan, ladang-ladang tandus, tanah-tanah garapan yang ditinggalkan. Karena hutan dan air serupa kuku dengan daging dibawahnya. Tak terpisahkan. Jika satu rusak, yang lain akan berdarah dan berhenti tumbuh. Manusia harus berhenti meluaskan ruang hidupnya dengan merampas ruang siklus air dan ekosistemnya. Pembangunan infrastruktur, rumah dan hunian dimulai dengan logika intensifikasi vertikal dan bukan ekstensifikasi horizontal.
Keempat, negara bersama warga dunia lainnya, bersatu padu, bergotong royong melakukan upaya penyelamatan iklim dengan memprioritaskan ketahanan dan pemerataan akses pada air, menolong daerah-daerah dengan kelangkaan yang tinggi dan menyelamatkan wilayah yang terus menjadi terpaan badai banjir, longsor dan segala yang mematikan.
Kelima, mengerahkan segenap keberpihakan, keahlian teknokratik, kemahiran saintifik, untuk bersama dan bekerja memulihkan support system yang memungkinkan anak cucu generasi berikutnya, menikmati hidup yang layak hingga ribuan tahun lagi, dengan mengesampingkan hiruk pikuk politik dan kontestasi kepentingan.
Dalam kesempatan tersebut Sutan Riska juga memberikan sumbang saran pada tataran implementasi, di mana Pemerintah Kabupaten akan selalu berupaya, pertama, meningkatkan koordinasi dan kolaborasi berbagai pihak untuk pengelolaan sumber daya air. Kedua, melakukan inovasi pembiayaan dan perluasan cakupan kerja sama pembiayaan melalui partisipasi sektor swasta dalam penyediaan infrastruktur pengelolaan air bersih melalui Skema Perjanjian Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (PKBU). Di samping itu, perlu juga dipertimbangkan untuk menggunakan skema dengan investasi pembiayaan campuran (blended financing) sehingga bisa membangun akses dari sumber sampai ke konsumen.
“Ketiga meningkatkan kerjasama antar daerah dalam penyediaan dan pendistribusian air bersih dan keempat perlu terus didorong peningkatan kapasitas Program Penyediaan Air Minum Berbasis Masyarakat,” tukasnya. (*)