Komite I DPD RI melakukan Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Apkasi (Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia) tentang implementasi Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Acara berlangsung di Gedung B DPD RI, Senayan-Jakarta, Selasa, (30/08/16).
(Sumber: DPD. Tampak wakil Apkasi: OK Arya Zulkarnaen (Bupati Batubara-paling kiri), Sokhiatulo Laoli (Bupati Nias)-kelima dari kanan, dan Prof Ryaas Rasyid (Penasehat Khusus Apkasi)-ketiga dari kanan. (Foto: Humas Apkasi)
Adapun maksud dari RDPU yang dipimpin oleh Wakil Ketua Komite I DPD RI, Fachrul Razi, dikarenakan banyaknya keluhan hampir di seluruh kabupaten/kota terutama terkait pelimpahan wewenang dari kabupaten/kota ke provinsi. “Kebijakan yang dihasilkan dari Undang-undang itu akan mencederai cita-cita reformasi di bidang desentralisasi pemerintahan. Permasalahan tersebut menjadi perhatian DPD yang menganggap bahwa keberadaan UU tersebut membuat daerah menjadi terkekang. Banyak perda-perda yang dibatalkan menyebabkan kewenangan dan kebijakan pemerintahan daerah dalam hal ini kabupaten/kota menjadi tidak maksimal dalam memajukan daerah,” tutur Fachrul Razi.
Dari pihak Apkasi, dihadiri oleh Bupati Nias Drs. Sokhiatulo Laoli, MM selaku Wakil Ketua Umum Apkasi, Bupati Batubara OK Arya Zulkarnaen, dan Prof Ryaas Rasyid selaku Penasehat Khusus Apkasi. Dalam kesempatan tersebut Sokhiatulo Laoli menyatakan bahwa Apkasi secara tegas dan menyayangkan terbitnya UU 23/2014. “Undang-undang 23/2014 ini telah mencederai upaya reformasi dan mengembalikan prinsip menjadi sentralistik. Berkenaan dengan itu, Apkasi sudah mengajukan Uji Materi ke Mahkamah Konstitusi,” ujarnya.
Sokhiatulo Laoli menambahkan berdasarkan kondisi real di lapangan, adanya pelimpahan wewenang dari kabupaten ke provinsi, seperti bidang pertambangan yaitu pengusaha Galian C merasa kesulitan dalam mengurus perijinan yang dialihkan ke provinsi, selain jauh tidak adanya koordinasi yang baik membuat pengusaha bingung; di Bidang Pendidikan, kewenangan yang ditarik ke provinsi membuat orang tua dan guru berteriak karena mereka menanggung biaya sendiri yang sebelumnya ditanggung oleh kabupaten. “Selain soal administrasi dipersulit, rentang birokrasi menjadi panjang tidak lagi simple. Harapan kami atas uji materi UU 23 Tahun 2014, MK menolak karena tidak sesuai dengan nafas otonomi daerah,” tegas Laoli.
OK Arya Zulkarnaen menambahkan bahwa kondisi di daerahnya juga menghadapi banyak kendala, terutama masyarakat di Batubara yang mata pencahariannya sebagai nelayan. “Para nelayan ini seolah tidak mendapat perlindungan ketika ada penangkapan oleh polisi laut negara tetangga karena melanggar wilayah perbatasan, sementara kami yang sudah terbiasa menangani ini namun tak berdaya membantu karena bukan wewenang kami lagi,” imbuhnya.
Sementara itu, Prof. Dr. M. Ryaas Rasyid, Pakar Otonomi Daerah mengungkapkan bahwa Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 sebelum diundangkan tidak ada konsultasi dengan stokeholder (bupati) terlebih dahulu. Proses undang-undang ini tidak ada konsultasi dengan daerah, hal ini sangat disesalkan karena semestinya dikonsultasikan dengan daerah yang berkaitan dengan wewenang daerah.
Adanya UU 23/2014 dapat berpotensi membubarkan eksistensi pemerintahan lokal. Eksistensi daerah adalah The Founder Of Republik Indonesia. Kesadaran ini perlu supaya kita hidup bersama. Desentralisasi adalah mendorong dan menghargai daerah untuk mengurus daerahnya sendiri.
“Ini harus kita benahi, manajemen negara ini harus dibenahi. Diharapkan secara khusus, DPD RI perlu melakukan diskusi atau perhatian khusus bagaimana grand desain otonomi daerah yang tepat, bukan jumlah daerah tapi tahapan otonomi, sistem supervisi dan pengawasan,” ujar Ryaas Rasyid. (*)