Dharmasraya, Apkasi.org. Menyadari ancaman perubahan iklim yang kian nyata, Bupati Dharmasraya, Sutan Riska Tuanku Kerajaan, membuat berbagai program menjaga lingkungan. Mulai dari ikan larangan, pemulihan lahan bekas tambang, hingga sosialisasi kepada masyarakat.
Menurutnya, perubahan iklim berdampak sangat luas pada kehidupan masyarakat. Kenaikan suhu bumi tidak hanya berdampak pada naiknya temperatur bumi, tetapi juga mengubah sistem iklim yang mempengaruhi berbagai aspek pada perubahan alam dan kehidupan manusia, seperti kualitas dan kuantitas air, habitat, hutan, kesehatan, lahan pertanian dan ekosistem wilayah pesisir.
“Sekarang masyarakat banyak yang belum paham soal isu perubahan iklim. Padahal secara nyata sudah mereka rasakan, dan mereka juga ikut mengeluh. Contohnya, kok hujan lagi, ya, harusnya kan sekarang musim panas,” kata Bupati yang dilantik saat usia 26 tahun ini.
Salah satu dampak yang sudah dirasakan oleh masyarakat menurut Sutan Riska adalah suhu ekstrem. Dia mencontohkan perubahan suhu yang meningkat, yang biasanya maksimal di angka 32 derajat celcius, sekarang bisa diangkat 34 hingga 38 derajat celcius. Demikian pula dengan penurunan suhu yang membuat udara terasa lebih dingin.
Ketua Umum Asosiasi Pemerintah Seluruh Indonesia (Apkasi) ini pun membuat langkah nyata. Salah satu program yang dilakukan di Dharmasraya adalah mendorong pembentukan “Lubuk Larangan”.
Program ini merupakan kearifan lokal masyarakat. Teknis penerapannya adalah, ada beberapa wilayah sungai yang dilarang aktivitas penangkapan ikan dalam waktu tertentu. Tidak hanya larangan penangkapan ikan, tapi juga dilarang merusak ekosistem sepanjang Daerah Aliran Sungai (DAS) yang ditetapkan sebagai lubuk larangan.
“Kita sudah buat SK untuk 11 lubuk larangan. Dengan adanya lubuk larangan, sungai jadi terjaga. Masyarakat punya regulasi sendiri soal penerapannya. Ada denda bagi yang melanggar,” kata Sutan Riska.
Denda bagi yang melanggar ini cukup unik. Masyarakat percaya, orang yang menangkap ikan, akan menderita sakit yang tidak bisa diobati hingga meninggal. Keyakinan itu tertanam di tengah individu masyarakat karena adanya ritual khusus saat prosesi penetapan lubuk larangan.
“Sebenarnya ini tidak hanya untuk menjaga lingkungan, tapi juga membantu kelompok masyarakat setempat mendapatkan uang yang bisa digunakan membangun fasilitas umum. Itu, kan lubuk larangan dibuka dalam jangka waktu satu tahun atau lebih. Nah ketika dibuka, ada yang dilakukan mancing mania berbayar, dan ada juga yang ikannya ditangkap lalu dijual kepada pengepul. Sehingga uangnya bisa dimanfaatkan,” kata Sutan Riska.
Selain lubuk larangan, program yang telah dilakukan adalah mengubah lahan kritis bekas tambang seluas 400 hektare menjadi taman edukasi. Aliran sungai yang sudah tidak jelas, dibentuk kembali. Tanaman yang sudah gundul, ditanami bambu.
“Di lokasi ini kita bangun berbagai fasilitas pariwisata dan edukasi. Misalnya ada gazebo, bumi perkemahan pramuka dan lainnya,” kata Sutan Riska. Namun, dia mengakui program ini terkendala oleh kondisi tanah. Bambu yang ditanam hanya hidup beberapa batang.
“Menurut kajian, tanah tersebut perlu remediasi sekitar 10 tahun. Karena sudah rusak parah oleh merkuri saat penambang beraktivitas di sana. Kalau bangunan dan infrastruktur tidak ada kendala, tapi soal pemulihan lahan yang terus kita upayakan,” ujar Sutan Riska yang menjabat periode kedua Bupati Dharmasraya ini.
Tidak hanya dua program itu, Pemkab Dharmasraya di bawah pimpinan Sutan Riska juga membuat program lainnya seperti pemanfaatan lahan pekarangan untuk tanaman pangan, pertanian yang ramah lingkungan, penyuluhan, dan mendorong pembentukan hutan nagari dan hutan adat.
“Kita perlu mendorong penetapan status hutan nagari dan hutan adat. Penting untuk menjaga tutupan hutan dan kedaulatan pemangku adat. Dengan adanya status hutan nagari dan hutan adat, penggunaan hutan lebih terkontrol. Karena hutan nagari dan hutan adat harus punya kerangka kerja dan dokumen zonasi, mana yang boleh diambil hasil bukan kayu dan mana yang harus dilindungi,” katanya.
Di Dharmasraya sekarang sudah ada dua hutan nagari dan dua hutan adat yang sudah ditetapkan melalui Surat Keputusan (SK) menteri kehutanan. Sutan Riska berharap, dengan adanya status Hutan Nagari dan Hutan Adat bisa menjaga tutupan hutan dan ekosistem yang ada untuk mengurangi kerusakan yang lebih parah dan konflik manusia dengan binatang buas.
“Program-program di atas tidak akan ada artinya dalam mencegah perubahan iklim jika hanya dilakukan oleh Dharmasraya. Itu baru langkah kecil. Saya bertekad ke depan akan terus berupaya membuat program yang mendukung pencegahan perubahan iklim yang lebih parah, saya yakin, bersama kita bisa,” ujar Sutan Riska. (*/Sumber: Tempo)