Siapa bilang, jadi aparatur sipil negara (ASN) harus berpakaian dinas rapih dan berambut pendek. Ternyata, di Kabupaten Purwakarta, ASN atau yang dulunya disebut PNS ini, diperbolehkan berambut gondrong. Serta, boleh menggunakan pakaian bebas.
(Berita: Republika. Foto: PurwakartaKab)
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi, menjadi ASN itu tidak harus seperti yang digambarkan pegawai-pegawai pemerintahan zaman dulu. Harus berpakaian rapih sesuai aturan, memakai sepatu yang disemir hitam, serta berambut klimis.
“ASN yang seperti itu sudah kuno,” ujar Dedi, kepada Republika.co.id, Jumat (20/5).
Di Purwakarta, kebijakan seperti itu telah dihapuskan. Saat ini, ASN boleh berambut gondrong. Ke kantor, dipersilahkan memakai sandal. Karena yang terpenting, bukan penampilannya. Melainkan, skill dan inovasinya.
Percuma, ASN berpakaian rapih, rambut klimis, sepatu mengkilat, tapi kinerjanya buruk. Dia datang dari rumah ke kantor, hanya duduk-duduk saja tanpa ada yang dikerjakan. Sedangkan, ASN di bagian lain, dia harus bekerja dengan konsekuensi seragam yang berlumuran lumpur, bau sampah, atau berlumuran cat.
Karena itu, ASN di Purwakarta dibebaskan untuk berekspresi sesuai dengan bidang masing-masing. Misalkan, ASN yang tugasnya mendesain (arsitektur) diperbolehkan berpakaian sesuai dengan pekerjaannya.
Atau, ASN yang menyukai sastra, puisi, dan budaya, diperbolehkan berambut gondrong. Karena, itu mencerminkan karakternya. Jadi, tidak akan ada larangan.
“Bahkan, kami punya ASN yang menjabat sebagai Kepala UPTD Peternakan di Kecamatan Sukasari, yang rambutnya gondrong,” ujar Dedi.
Tidak jadi masalah. Karena, pegawai itu setiap harinya bergulat dengan alam. Mengingat, wilayah Sukasari itu masih terpencil dan mayoritas lingkungannya adalah hutan. Jadi, wajar saja jika kepala UPTD peternakannya, rambutnya gondrong.
“Yang penting, isi kepala, kreatifitas, inovasi, skill. Bukan penampilan luarnya,” ujar Dedi.
Pola Pengembangan Kultur
Pola pengembangan Aparatur Sipil Negara (ASN) di lingkungan Pemerintah Kabupaten Purwakarta diarahkan pada pengembangan kultur. Ini bertujuan untuk menghindarkan Aparatur Sipil Negara (ASN) dari pendekatan formalistik. Pendekatan semacam ini diyakini menjenuhkan dan miskin inovasi serta cenderung kurang responsif terhadap kecepatan pelayanan.
Paling tidak, sudah sejak 8 Tahun lalu Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi melakukan revolusi mental kepegawaian melalui aneka macam kebijakan. Dalam amanatnya di depan para Aparatur Sipil Negara yang baru saja dilantik Jum’at (20/5) di Bale Maya Datar, seluruh kebijakan tersebut kembali ditekankan oleh Dedi. Kebijakan pertama yang dia lakukan adalah menghapus apel pagi.
Menurut Dedi, para pegawai lebih baik langsung bekerja melayani masyarakat daripada harus berkumpul terlebih dahulu dihalaman kantor. Ini dia lakukan untuk efektifitas jam kerja. Dedi berargumen, “Tugas itu harus dilaksanakan sesegera mungkin. Soal koordinasi tidak harus melalui apel. Sudah ada telepon, SMS, BBM atau Whatsapp khan?”
Kebijakan lain yang digagas oleh Dedi adalah Pakaian. Di Kabupaten Purwakarta sudah tidak lagi peraturan yang mengharuskan Aparatur Sipil Negara untuk mengenakan seragam. Dedi memandang seragam hanya membatasi kinerja seorang Aparatur Sipil Negara. Dedi menambahkan, “Anggaran untuk memberikan seragam saya alihkan untuk Pembangunan. Selain itu masyarakat akan terkesan segan saat melihat orang berseragam. Sulit bagi mereka untuk mau berkeluh kesah. Lain hal saat pakaian pegawai sama dengan pakaian masyarakat. Mereka akan merasa lebih nyaman.”
Dedi mencontohkan Abdi Dalem di Jogjakarta yang begitu konsisten mengabdi. Walaupun penghasilan mereka kecil tetapi mereka mampu menyekolahkan anak-anaknya sampai Perguruan Tinggi. “Mereka jujur dan memiliki integritas tinggi dalam menjalankan pekerjaan. Kita pun harus demikian dalam melakukan pelayanan kepada masyarakat,” tukas Dedi lagi. (*)