www.apkasi.org
Titik terang UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah pelan-pelan mulai terlihat. Segenap bupati dan walikota sepakat untuk melakukan peninjauan kembali atau judicial review undang-undang ini ke Mahkamah Konstitusi dalam waktu dekat. Para bupati dan walikota merasa, undang-undang ini inkonstitusional, berseberangan dengan semangat otonomi daerah dan bertentangan dengan Pasal 18 UUD.
“Ini bukanlah masalah kewenangan. Akan tetapi untuk menjaga semangat otonomi yang kita jalankan sesuai semangat para founding fathers kita dulu, termasuk semangat reformasi dan konsensus politik pasca reformasi. Otonomi itu tujuannya mendekatkan pelayanan publik kepada masyarakat. Sekarang, kalau hanya untuk izin galian C saja harus ke provinsi, bukankah memperjauh layanan publik? Belum lagi izin-izin lainnya,” papar Nasaruddin, Bupati Aceh Tengah.
Hal yang sama juga diutarakan Ahmed Zaki Iskandar, Bupati Tangerang. Zaki mensinyalir, ada kepentingan-kepentingan beberapa pihak yang masuk dalam undang-undang ini. Ia juga menyampaikan, realitas di lapangan seperti diabaikan dalam penyusunan, termasuk tidak melibatkan orang-orang yang benar-benar merasakan di lapangan seperti bupati/walikota.
“Saya sangat setuju undang-undang ini di judicial review. Tapi, alangkah baiknya kita (bupati/walikota) terlebih dahulu menyampaikan secara langsung ke presiden dan mendagri, termasuk ke Komisi II DPR RI, sehingga tidak muncul lagi undang-undang seperti ini,” papar Zaki.
Sedangkan Bupati Kulonprogo, dr. Hasto Wardoyo, menekankan pentingnya undang-undang yang melihat realitas di lapangan, jangan hanya mengedepankan legalitas semata. Hal senada juga disampaikan Hariyanto (Bupati Pati), Zulkarnaen (Bupati Batubara) dan Ahmad Safei (Bupati Kolaka), yang mempermasalahkan ditariknya izin-izin soal maritim, termasuk izin nelayan ke provinsi.
“Bayangkan kalau nelayan-nelayan kecil harus urus izin ke provinsi. Jangankan ibukota provinsi, ibukota kabupaten saja mereka belum tentu pernah kunjungi. Saya selama ini memang telah mendelegasikan izin-izin ini ke kecamatan mempermudah nelayan mengurus izin. Sekarang kalau di tarik ke provinsi bukannya mempersulit masyarakat kita?,” tanya Ahmad Syafei.
Sebelumnya, beberapa jajaran Dewan Pakar Apkasi membedah lebih dalam resistensi UU 23/2014 terhadap roda pemerintahan dan layanan publik di daerah kabupaten/kota, termasuk dengan beberapa akademisi hukum tata negara dalam acara Forum Group Discussion (FGD) yang digelar Apkasi. Acara FGD ini sendiri merupakan yang kesekian kalinya di gelar Apkasi, khusus membedah UU 23/2014.
“Kalau kita cermati, undang-undang ini banyak kejanggalannya. Pertama, secara fundamental, ini menyalahi semangat otonomi. Titik berat otonomi dipilih di kab/kota karena alasannya untuk mendekatkan layanan publik. Kedua, undang-undang ini mengingkari konstitusi. Konstitusi mengamanatkan, otonomi dilaksanakan seluas-luasnya, bukan malah kewenangan diambil ke pusat atau provinsi. Ketiga, secara etika, undang-undang ini tidak mengindahkan etika dalam pembuatan undang-undang karena tidak melibatkan orang-orang yang haknya akan diambil,” papar Ryaas sekaligus memberikan keynote speaker dalam FGD Apkasi.
FGD yang diselenggarakan di Kantor Sekretariat Apkasi pada 15 September 2015 ini dihadiri Ryaas Rasyid, Isran Noor, beberapa praktisi hukum tata negara seperti Indra Prawira, Rifqinizam Karsayuda dan Andy Syafrani. Hadir juga akademisi dari beberapa universitas ternama seperti Dr. M. Ali Safa’at, SH., MH dari FH Universitas Brawijaya Malang, Abdul Gaffar Karim, MA, Ph.D, Fisipol UGM dan Dr. Ardilafizza, SH, MH dari Universitas Bengkulu. Hadir juga puluhan bupati dan beberapa walikota.
Inskonstitusional
Dari semua pandangan Dewan Pakar Apkasi, termasuk para praktisi dan akademisi yang hadir di FGD Apkasi, semuanya mengarah untuk mendorong pemerintah kabupaten/kota melakukan judicial review terhadap UU 23/2014. “Saya kira berbagai forum akademis dan praktisi yang membedah undang-undang ini, semuanya sepakat inkonstitusional. Kita tahu, ini acara kesekian kalinya bagi kita untuk membahas ini. Agar tidak merembet kemana-mana, sudah saatnya para kepala daerah beraksi,” jelas Indra Prawira.
Sementara itu, Budiman Sudjatmiko, Anggota Komisi II DPR RI, mengutarakan, penguatan daerah yang menjadi program prioritas Presiden Jokowi saat ini, momentum baik bagi Apkasi dan para bupati untuk merevisi UU 23/2014.
“Kalau kita melihat program Bapak Presiden Jokowi yang arahnya memperkuat daerah, saya kira ini momentum yang bisa digunakan. Kita tahu, berbagai kebijakan, bahkan Keppres yang akan di keluarkan presiden, semuanya bermuara pada penguatan daerah. Dan kita tahu, beliau (presiden) tahu persis bagaimana kondisi di daerah, karena dia berasal dari daerah,” jelas Budiman.
Pada pelaksanaan FGD ini, tiga bupati dan satu walikota terang-terangan menyatakan sepakat dan mendukung upaya judicial review UU 23/2014 ke MK. Dukungan ini menambah deretan dukungan yang sudah ada di tangan Apkasi. “Kita tahu, Apkasi tidak bisa melakukan judicial review, yang bisa adalah pemerintah kabupaten/kota yang notabene menjadi objek dalam undang-undang ini. Untuk itu, dukungan dari kabupaten dan kota sangat dibutuhkan sebagai pendukung di MK nantinya,” tambah Rifqinizam Karsayuda, salah satu Dewan Pakar Apkasi.
FGD ini pun mengagendakan beberapa pekerjaan-pekerjaan dalam waktu dekat untuk mendukung upaya judicial review ke MK. Saran para bupati yang meminta Dewan Pakar Apkasi membuat draf atau pembedahan pasal per pasal UU 23/2014 akan diwujudkan dalam dua sampai tiga pekan ke depan.
“Dalam dua sampai tiga minggu ke depan, saya kira sudah waktunya membedah draf yang akan diajukan ke MK. Harapan kami, semakin banyak bupati yang hadir dan masukan bisa menjadi lebih kaya. Momentum ini harus dimanfaatkan karena kita tahu, per Januari 2016, MK akan disibukkan sengketa pilkada,” jelas Rifqinizam Karsayuda. (Hen/Mz)