Jakarta, Apkasi.org. Terbitnya UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan Pusat dan Daerah (UU HKPD) turut menjadi momentum reformasi struktural pelaksanaan desentralisasi fiskal dan pajak daerah. Bupati Kebumen Arif Sugiyanto selaku Wakil Bendahara Umum Apkasi menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan Webinar Series “Outlook Pajak Daerah Pasca UU HKPD”, Rabu (30/03/2022).
Dalam kegiatan yang diselenggarakan DDTC Acedemy tersebut tampil sebagai keynote speech, yakni Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti. Dalam paparannya, Prima menegaskan bahwa pemerintah meyakini implementasi UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD) bisa mendorong kembali tax ratio daerah yang sempat turun akibat dampak pandemi Covid-19.
Dirjen Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan, Astera Primanto Bhakti menjadi Keynote Speech dalam kegiatan Webinar Series “Outlook Pajak Daerah Pasca UU HKPD”, Rabu (30/03/2022).
Prima lantas menyampaikan pada 2016 rasio pajak daerah dan retribusi daerah (PDRD) terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) tercatat sebesar 1,35%. Angkanya kemudian naik menjadi 1,42% pada 2019. Namun, pada 2020 tax ratio daerah turun ke 1,2% terhadap PDRB.
“Terbukti dengan adanya desentralisasi fiskal yang dilakukan telah menunjukkan keberhasilan dari 2016 ke 2019. Tapi tahun 2020 karena ada Covid-19 kita semua alami kontraksi, rasio pajak daerah turun jadi 1,2%,” katanya.
Prima menambahkan UU HKPD diyakini dapat menyelesaikan tantangan terbesar PDRB terkait ketentuan dan tata cara perpajakan pajak daerah. Sebab, Prima memantau sampai saat ini masih banyak daerah yang belum berhasil mengoptimalkan pajak daerah hanya karena aturan belum dijalankan atau belum dimiliki oleh daerah.
“Akibatnya, pajak daerah tidak bisa dioptimalkan. Di samping itu sinergi pusat daerah perlu diperbaiki, kami melihat pada saat terjadi sesuatu seperti pandemi covid ini merupakan pelajaran berharga,” kata Prima.
Lebih lanjut, kata Prima, UU HKPD yang merupakan pembaruan atas gabungan UU Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dan UU PDRD diharapkan mampu menambah penerimaan PDRD kabupaten/kota sampai dengan 48,98%. Beleid tersebut diharapkan bisa melanjutkan desentralisasi fiskal terutama dalam hal meningkatkan hubungan fiskal pusat-daerah.
“Di pusat ada yang perlu diperbaiki, daerah pun ada yang perlu diperbaiki. Setelah penerimaan PDRD membaik maka sejalan tantangan terbesar adalah bagaimana memfokuskan belanja di daerah,” ujar Prima.
Prima menekankan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas, penerimaan pajak dan belanja harus seimbang. Permasalahan saat ini, kata Prima, sebesar 34%-36% dana alokasi umum (DAU) masih difokuskan untuk belanja pegawai, sedangkan belanja infrastruktur baru 11%.
“Di samping itu juga belanja di daerah perlu diperbaiki fokusnya, karena di situ terlihat dari jumlah program saja hampir 30.000 dan kegiatannya hampir 300.000 di seluruh Indonesia. Kalau dibagi ke 562 Provinsi/Kabupaten/Kota, maka perlu dilakukan fokus agar belanja lebih nendang,” ucap Prima.
Selama ini, diketahui bahwa baik pemerintah pusat dan pemerintah daerah memiliki kewenangan untuk mengintervensi pelaksanaan program belanja. Menurutnya, ke depannya perlu ada sinergi dan kolaborasi yang lebih baik untuk memastikan program-program yang dijalankan benar-benar memberi manfaat optimal bagi masyarakat.
“Jadi kita ingin turunkan ketimpangan baik horizontal atau vertikal. Ketimpangan horizontal itu antardaerah, ketimpangan vertikal antara pemerintah pusat-daerah,” kata Prima.
Sementara itu Arif Sugiyanto memaparkan materi sinergi pemerintah provinsi, kabupaten dan kota dalam pengelolaan pajak daerah dalam perspektif implementasi di lapangan, khususnya di Kabupaten Kebumen. Arif optimistis penerimaan pajak daerah dapat meningkat dengan adanya implementasi opsen pajak kendaraan bermotor (PKB) dan bea balik nama kendaraan bermotor (BBNKB). Hal ini sebagaimana diatur dalam UU 1/2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah (HKPD).
Wakil Bendahara Umum Apkasi Arif Sugiyanto (Bupati Kebumen) menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan Webinar Series “Outlook Pajak Daerah Pasca UU HKPD”, Rabu (30/03/2022).
Menurut Arif, skema opsen PKB dan opsen BBNKB akan menguatkan sistem perpajakan daerah di tingkat kabupaten/kota sehingga berdampak pada perbaikan pelayanan publik. “Ini yang ditunggu oleh Kabupaten Kebumen dan kabupaten/kota lainnya. Adanya skema opsen ini pungutan lebih optimal melalui sinergi pengawasan law enforcement pajak baik PKB, BBNKP, maupun MBLB,” kata Arif
Arif juga menyampaikan, penerimaan pajak daerah sangat dibutuhkan oleh Kabupaten Kebumen untuk menyokong kebutuhan belanja daerah, seiring dengan proses pemulihan ekonomi. Ia pun memprediksi dengan adanya skema opsen PKB dan opsen BBNKB di bawah ranah pemkab/pemkot, belanja untuk pelayanan publik dapat digenjot. Pelayanan publik yang dia maksud seperti infrastruktur dengan pembangunan jalan yang menjadi tanggung jawab pengerjaan Pemkab Kebumen.
Pada akhirnya, Arif mengatakan UU HPKD dapat meningkatkan tax ratio dan mendorong pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih merata baik antara daerah maupun dengan nasional. “Kami berharap ada kenaikan penerimaan pajak daerah akibat dari opsen dari sana maka ada peningkatan infrastruktur pembangunan jalan di kabupaten. Ini dapat meningkatkan kualitas belanja daerah yang pada akhirnya untuk pelayanan publik,” ujarnya.
Di sisi lain, Arif melaporkan realisasi penerimaan pajak daerah Kabupaten Kebumen sepanjang 2021 mencapai Rp102,3 miliar, atau di atas target yang telah ditetapkan senilai Rp101,5 miliar. Dia berharap pasca implementasi UU HKPD penerimaan tersebut bisa tumbuh lebih tinggi.
Terhadap aturan pelaksana Peraturan Pelaksana (PP), Arif menyoroti Pasal 83 dan 84 di UU No.1/2022 dan mengenai substansi yang perlu dimuat dalam PP tersebut, ia menyebutkan berkaca dari proses penyusunan peraturan turunan UU Cipta Kerja, perlu ada proses orkestrasi dalam penyusunan peraturan turunan agar menciptakan keselerasan antara UU dan peraturan turunan. Ia berujar, “Dengan melihat penyusunan peraturan turunan UU 23/2014, perlu ada pengawalan terkait proses penyusunan peraturan turunan agar dapat diselesaikan sesuai deadlinenya.”
Hal kedua, imbuh Arif terkait platform mekanisme ini perlu diatur lebih lanjut yang prinsipnya untuk memudahkan daerah serta ada standarisasi sehingga seluruh pemerintah daerah memiliki keseragaman dalam hal pelaporan realisasi pajak daerah. “Dengan penggunaa platform digital ini dapat dijadikan bahan oleh pemerintah pusat dalam mengampil kebijakan fiskal di masa yang akan datang,” ujarnya.
Soal penetapan tarif, menurut Arif juga perlu memberi ruang gerak untuk penetapan tarif yang mendukung kegiatan ekonomi masyarakat, menciptakan iklim usaha dan iklim investasi yang optimal, dan lebih mengarah pada kepatuhan warga masyarakat untuk membayar sesuai dengan peraturan yang berlaku. Ia menyarankan mekanisme penetapan tarif ini perlu dibuat lebih ederhana.
Sedangkan indikator kinerja tertentu dalam ayat ini perlu dijelaskan secara rinci dalam peraturan turunan guna menghadirkan prinsip kepastian pada sisi prosedur. Insentif tersebut diberikan ketika instansi terkait melakukan pekerjaan yang lebih cepat dari waktu yang ditetapkan dan inovasi yang diterapkan sesuai dengan tupoksi. (*)